Sekolah Minggu Tridharma – Mencari Rumah Gugi Pelatuk

Penulis: Navavirya

Pada suatu hari, Lodi dan Leno Landak hendak bermain bulutangkis. Tapi, oh, ternyata mereka sudah tak punya kok lagi.

“Kita ke kandang Bu Kiki Bebek saja,” kata Lodi. “Mungkin ia masih punya kok yang bisa kita pakai.”

Pergilah kedua landak itu ke peternakan menemui Bu Kiki Bebek. Peternakan itu berada di pinggir hutan kecil tempat Lodi dan Leno tinggal.

“Aku hanya punya satu, itu pun hanya bisa kupinjamkan. Aku tak bisa memberikannya pada kalian,” kata Bu Kiki Bebek. “Jadi, jangan sampai hilang atau rusak. Kita harus menunggu lama sampai aku bisa membuatkan yang baru. Apa kalian akan bermain bersama anak-anakku dan anak-anak ayam?”

“Kami hanya main berdua, Bu Kiki Bebek,” jawab Lodi. “Anda tahu, kan, kalau anak-anak bebek dan anak-anak ayam, bahkan kucing dan anjing yang tinggal di peternakan ini tak ada yang mau bermain bersama kami. Semuanya takut pada duri-duri yang ada di tubuh kami.”

“Kadang aku merasa kasihan pada kalian, Anak-anak,” kata Bu Kiki Bebek. “Bukan salah kalian jika tubuh kalian ditumbuhi duri seperti itu. Apa kalian tak pernah mencoba mencari teman baru? Mungkin ada hewan yang tinggal di sekitar Kolam Gelagah yang mau menjadi teman kalian.”

“Kami ragu untuk berkunjung ke sana, Bu Kiki Bebek,” kata Leno. “Kami takut diusir, jika ternyata hewan-hewan di sana juga takut pada kami.”

“Ya sudah kalau begitu,” kata Bu Kiki Bebek, sambil mengembuskan napas berat. “Sepertinya memang hanya aku yang tak takut pada kalian. Ini koknya. Ingat, jangan sampai hilang!”

Lodi dan Leno mengiyakan ucapan Bu Kiki Bebek, sertatak lupa mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, mereka sudah bermain di sebidang tanah lapang dengan gembira dan bersemangat. Lodi dan Leno ternyata sangat mahir bermain bulutangkis. Keduanya  bisa saling menangkis kok yang datang dari arah lawan dengan baik, namun tiba-tiba saja angin bertiup dengan kencang.

Leno tak bisa menggapai kok yang dipukul Lodi. Kok itu bahkan terbang meninggi, menjauhi kedua landak tersebut, dan kemudian menghilang di antara pepohonan dan semak-semak. Lodi dan Leno bergegas mendekati. Mereka lalu sibuk menyibakkan semak-semak, namun kokitu tak juga bisa ditemukan.

“Celaka,” ujar Lodi. “Kalau kok itu sampai hilang, Bu Kiki Bebek akan sangat marah. Ia mungkin tak akan mau membuatkan kok untuk kita lagi, dan mungkin juga tak berteman lagi dengan kita!”

“Jangan menyerah, ayo kita cari lagi,” kata Leno. “Siapa yang menyangka kalau angin tiba-tiba bertiup kencang. Kok itu pasti ada di sekitar sini.”

Namun, seberapa pun kerasnya kedua landak itu mencari-cari, mereka tak juga menemukan kok tersebut. Lodi dan Leno akhirnya terduduk kelelahan. Mereka juga merasa sangat sedih.

Saat itulah seekor burung pelatuk mendarat di hadapan mereka. Lodi dan Leno kaget sekaligus senang saat melihat pelatuk itu membawa kok mereka di paruhnya. Pelatuk itu meletakkan kok tersebut di hadapan Lodi dan Leno tanpa sedikit pun terlihat takut melihat duri-duri landak yang tajam.

“Apakah ini kok kalian?” tanya si pelatuk. “Aku menemukannya tersangkut di dahan yang tinggi. Aku menduga ini milik kalian, setelah melihat raket bulutangkis yang kalian pegang.”

“Ya, itu kok kami,” sahut Lodi. “Terimakasih banyak. Namaku Lodi, dan ini saudaraku, Leno. Namamu siapa?”

“Aku Gugi si burung pelatuk,” jawab si burung pelatuk. “Dan aku tahu kalau kalian adalah landak.”

“Kau tak takut tertusuk duri-duri kami?” tanya Leno.

“Agak sedikit takut, sih,” kata Gugi, terus terang. “Tapi aku yakin, kalau aku berhati-hati, duri-duri kalian tak akan menusukku, apalagi kalian kelihatannya baik. Aku juga sering bermasalah dengan paruhku. Kebanyakan hewan yang lain takut terpatuk paruhku yang kuat dan bisa melubangi kayu yang keras.”

“Ya, kami juga pernah mendengar tentang burung pelatuk,” kata Lodi. “Kami juga yakin kau baik, sebab kau mau repot-repot mengantarkan kok ini kepada kami. Di manakah rumahmu, Gugi? Kami sangat berterimakasih padamu, dan kami berniat membawakan sekeranjang buah beri sebagai tanda terima kasih.”

“Ah, jangan repot-repot,” kata Gugi. “Aku, kan, kebetulan saja melihat kok kalian yang tersangkut di dahan.”

“Itu bukan kok kami,” kata Leno. “Itu milik Bu Kiki Bebek, tetangga kami. Kalau kok itu sampai hilang, ia akan sangat marah, padahal selama ini ia satu-satunya yang bersikap ramah pada kami. Kami tak mau membuatnya marah. Untung saja kau menemukannya, jadi kami sangat berterima kasih padamu.”

“Oh, begitu,” kata Gugi. “Baiklah, kalian boleh datang ke rumahku. Aku tinggal di Pohon Ek Besar dekat Kolam Gelagah. Itu tak jauh dari sini.”

Lodi dan Leno saling berpandangan sesaat. Bukankah Bu Kiki Bebek menganjurkan mereka pergi ke sana untuk mencari teman? Dan ternyata mereka bertemu dengan salah satu penghuninya. Ini kebetulan yang sangat menyenangkan!

“Kami tahu di mana letaknya,” kata Lodi, kemudian. “Kami akan datang ke rumahmu besok.”

Keesokan harinya, Lodi dan Leno menepati janji mereka. Keduanya pergi ke Kolam Gelagah sambil membawa sekeranjang besar buah beri. Mereka lalu menghampiri Pohon Ek Besar, namun Gugi tak terlihat berada di sekitar situ. Lodi dan Leno lalu menghampiri sebuah liang yang ada di balik akar pohon ek. Mereka melongok ke dalam liang tersebut.

“Hei, siapa di sana? Jangan mengintip! Tidak sopan!”

Seekor ibu kelinci keluar dari dalam liang dengan wajah marah.

“Maaf,” kata Leno. “Kami tidak bermaksud mengintip. Kami sedang mencari rumah teman kami, namanya Gugi si pelatuk. Apa Bu Kelinci tahu di mana rumahnya? ”

“Aku tahu Gugi si pelatuk, tapi aku tak tahu di mana rumahnya,” kata Bu Kelinci. “Coba kalian tanyakan pada yang lain.”

Bu Kelinci kembali masuk ke liangnya. Lodi dan Leno saling berpandangan. Bu Kelinci tahu siapa Gugi, tapi ia tak tahu di mana rumahnya, bagaimana bisa begitu? Lagipula, bukankah pohon yang ada di hadapan Lodi dan Leno inilah yang disebut sebagai Pohon Ek Besar?

Tapi Lodi dan Leno tak mau lagi bertanya pada Bu Kelinci. Mereka takut dimarahi lagi. Kedua landak itu mendekati Kolam Gelagah. Dua ekor ikan tampak sedang berenang-renang di situ.

“Permisi, Pak dan Bu Ikan,” sapa Lodi. “Apakah kalian tahu di mana rumah Gugi si pelatuk?”

“Oh, Gugi tinggal di Pohon Ek Besar, tapi kami tak tahu di mana ia tinggal,” kata Pak Ikan.

Lagi-lagi Lodi dan Leno keheranan. Kenapa tetangga-tetangga Gugi ini bisa tak tahu di mana rumah Gugi? Tepat pada saat itu, ada seekor tupai yang melintas. Dia menatap Lodi dan Leno dengan keheranan.

“Baru kali ini aku melihat landak di sekitar sini,” kata si tupai. “Bukankah para landak tinggal di dekat peternakan?”

“Ya, betul,” kata Lodi. “Kami ke sini hendak mencari teman kami, Gugi si pelatuk. Bu Kelinci serta Pak dan Bu Ikan katanya kenal dengan Gugi, tapi mereka tidak tahu di mana rumahnya. Bagaimana mereka tidak tahu di mana rumah tetangga mereka sendiri? Dan kau sendiri, apa kau tahu di mana rumah Gugi?”

Si Tupai makin terlihat keheranan saat mendengar penjelasan Lodi dan Leno.

“Apa tidak ada burung yang tinggal di dekat peternakan?” tanya Si Tupai.

“Burung-burung yang lain hanya sesekali melintas saja ke tempat kami,” kata Leno.

“Kalian tak pernah punya teman seekor burung pun sebelumnya?” tanya Si Tupai.

Lodi dan Leno menggeleng.

“Teman kami hanya Bu Kiki Bebek yang tinggal di peternakan,” jawab Lodi. “Hewan-hewan yang lain tak mau berteman dengan kami karena takut tertusuk duri-duri yang ada di tubuh kami.”

“Jadi, kalian tidak tahu di mana para burung tinggal di hutan ini?” tanya Si Tupai.

Lagi-lagi Lodi dan Leno menggeleng. Seketika itu juga Si Tupai tertawa, sampai-sampai gigi depannya yang sangat besar jadi terlihat lebih besar lagi. Suara tawanya terdengar keras sekali. Pak dan Bu Ikan jadi ikut tertawa. Suara tawa mereka membuat Bu Kelinci dan anak-anaknya keluar dari liang tempat tinggal mereka. Lodi dan Leno makin kebingungan.

“Tentu saja Bu Kelinci, Pak dan Bu Ikan tak akan tahu di mana Gugi tinggal,” kata Si Tupai. “Karena di hutan ini para burung tinggal di atas pohon! Apa kau tak melihat mereka punya sayap dan bisa terbang? Binatang-binatang yang tinggal di bawah sini tentu saja tak tahu di mana letak rumah Gugi!”

“Oh, begitukah?” tanya Lodi. “Jadi Gugi tinggal di atas pohon? Ya, kami tahu burung bisa terbang, tapi kami tak pernah menyangka kalau mereka juga tinggal di atas, bukan di tanah seperti kami.”

“Akan kupanggilkan Gugi, aku tahu di mana rumahnya,” kata Si Tupai. “Rumahku berada di bawah rumahnya.”

“Kau bukan burung, tapi kau juga punya rumah di atas pohon,” kata Leno. “Bagaimana bisa begitu?”

“Aku bisa memanjat,” kata Si Tupai. “Dan terkadang hidup di atas pohon terasa lebih  aman daripada di atas tanah.”

Lodi dan Leno terkagum-kagum saat melihat Si Tupai memanjat pohon ek dengan lincahnya. Tak lama kemudian, Si Tupai kembali bersama Gugi si pelatuk. Gugi sangat senang melihat Lodi dan Leno datang untuk mengiriminya buah beri. Siang itu, mereka semua berpesta buah beri di tepi Kolam Gelagah. Semua hewan di situ merasa sedih juga saat tahu kalau selama ini Lodi dan Leno tak punya teman karena banyak yang takut pada duri-duri di tubuh mereka. Tapi sejak saat itu, Lodi dan Leno menjadi lebih berbahagia, karena ternyata para penghuni Kolam Gelagah dan Pohon Ek Besar mau menjadi teman mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *