Sekolah Minggu Tridharma – Kisah Angu si Kanguru
Penulis: Navavirya
Ada seekor anak kanguru bernama Angu. Kakinya sebenarnya sudah kuat untuk berjalan sendiri, tapi Angu masih sering digendong di dalam kantong ibunya dan tak boleh berkeliaran seorang diri. Ibu berkata kalau Angu masih kecil sehingga sering melupakan apa yang sudah dipelajarinya. Jika diizinkan berkeliaran seorang diri, Angu kerap melakukan hal yang bisa membahayakan dirinya, seperti nyaris memakan buah beri beracun padahal ibunya sudah pernah memberitahukan kalau jenis beri itu tak boleh dimakan, atau pergi terlalu jauh dan menghampiri bebatuan di mana ular-ular berbisa biasa bersarang.
Ibu selalu berkata, Angu baru boleh berkeliaran seorang diri jika tubuhnya sudah lebih besar dan kuat, dan Angu bisa mengingat nasihat ibunya dengan baik. Tapi dasar Angu, ia selalu saja mencuri-curi kesempatan berjalan-jalan seorang diri.
Hingga pada suatu siang yang panas, ibu Angu kanguru tertidur dengan lelapnya. Mungkin ia sedang kelelahan. Angu menyadari kalau ibunya sedang tidur dengan sangat lelap, karena ia mendapati ibunya tak bergerak sedikit pun ketika Angu diam-diam keluar dari kantong ibunya. Angu pun tak membuang kesempatan itu. Ia segera pergi menjauh.
“Asyik!” katanya, pada diri sendiri. “Akhirnya aku bebas!”
Angu melompat-lompat melintasi padang rumput. Segerombolan burung gereja yang sedang bertengger di dahan pohon yang ada di dekat situ melihatnya lewat.
“Hei, bukankan kau Angu si bayi kanguru?” tegur seekor burung gereja. “Bukankah bayi kanguru sepertimu belum boleh bepergian sendiri?”
“Aku bukan bayi,” ujar Angu. “Kaki dan tubuhku sudah kuat. Aku bisa berjalan-jalan sendiri!”
Angu pun kembali melompat-lompat, menjauhi gerombolan burung gereja itu. Ia akhirnya tiba di sebuah peternakan domba. Dua ekor anjing gembala jerman, yang bertugas menjaga hewan ternak di situ, menegur Angu. Mereka bernama Hans dan Jans. Kedua anjing itu mengenal Angu dan ibunya, karena mereka kerap melewati peternakan tersebut. Angu pun menyelinap masuk ke peternakan itu dan kemudian bermain bersama Hans dan Jans, serta beberapa anak domba yang tinggal di situ.
Saking asyiknya bermain, Angu nyaris lupa kalau ia harus kembali ke tempat ibunya. Begitu teringat, ia pun buru-buru pamit pada Hans, Jans, dan para domba, lalu melompat-lompat pergi. Karena pikirannya sudah dipenuhi oleh kemungkinan ibunya sudah terbangun dan mencari-cari dirinya, Angu jadi bertindak ceroboh. Dia salah mengambil jalan pulang. Angu baru berhenti dan tertegun ketika ia sampai di sebuah lapangan yang ditumbuhi oleh bunga-bunga liar.
“Rasanya aku tak lewat ke sini tadi,” gumam Angu, pada dirinya sendiri. “Di mana aku? Oh, aku sudah tersesat!”
Angu mulai panik. Dia lalu melompat-lompat tak tentu arah untuk mencari jalan pulang. Angu lalu berhentu karena kelelahan. Saat itulah seekor hewan mendekati dirinya.
“Halo, anak manis,” sapanya. “Kulihat kau tampak kebingungan. Ada apa?”
Angu menatap hewan yang menegurnya. Teman barunya itu tampak mirip sekali dengan Hans dan Jans. Angu merasa senang. Hewan ini pasti teman Hans dan Jans.
“Aku tersesat,” jawab Angu. “Bisakah kau mengantarku pulang?”
“Oh, tentu bisa,” jawab hewan tersebut. “Aku mengenal ibumu. Ayo, ikutlah denganku.”
Angu menurut. Ia mengikuti lagkah teman barunya. Namun, baru juga melompat beberapa langkah, ibu Angu tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka.
“Dasar dingo jahat!” serunya. “Kau mau bawa ke mana anakku?”
Ibu Angu menendang hewan yang disebutnya dingo itu kuat-kuat hingga terpental.
“Cepat masuk ke kantong ibu!” seru ibu Angu. “Kita harus lari sebelum teman-temannya datang!”
Angu sebenarnya tak mengerti, apa yang sebenarnya sudah dilakukan ibunya, namun ia tak banyak bertanya. Ia pun masuk ke kantong ibunya, dan ibunya pun melompat-lompat cepat membawa Angu menjauh dari situ. Mereka baru berhenti setelah menemukan tempat yang dirasakan oleh ibunya aman.
“Angu, apa kau tak pernah mendengar apa yang sudah diajarkan oleh Ibu?” kata Ibu, gusar. “Tak sadarkah kalau kau nyaris saja menjadi makanan dingo?”
“Itu dingo, Ibu? Yang katanya suka sekali memakan anak-anak kanguru, domba-domba kecil, bahkan bayi manusia?” tanya Angu, gemetar.
“Ya, anakku, hewan yang mengajakmu pergi tadi adalah dingo. Kau pasti menyangka dia hanyalah seekor anjing, tapi tidak. Kalau kau teliti, kau akan melihat hewan itu berbeda dengan anjing. Dingo jika menyeringai, akan terlihat giginya yang lebih tajam daripada anjing biasa,” kata Ibu. “Untung saja kawanan burung gereja, juga Hans dan Jans memberitahukan pada Ibu ke arah mana kau pergi sehingga Ibu bisa menemukanmu. Kalau tidak …”
Ya, kalau tidak Angu sudah menjadi santapan si dingo dan teman-temannya. Sejak saat itu, Angu pun lebih memerhatikan apa yang diucapkan oleh ibunya, hingga suatu saat nanti, ketika boleh pergi sendiri, Angu sudah bisa lebih berhati-hati.