Rumah Kebaya Tionghoa
Rumah kebaya yang satu ini biasanya kita dapat temui di daerah kepinggiran Tangerang. Semua bangunan rumah kebaya pada umumnya terbuat dari kayu. Di depan rumahnya ada paseban lebar dan halaman bertegel terakota. Kertas kuning atau merah bertulisan cina diatas pintu dan tempat hio disampingnya. Saat musim panen padi, halaman depan akan penuh padi yang dijemur.
Pembagian ruangan dalam rumah kebaya selalu sama. Bagian depan adalah pelataran tempat menjemur padi, lalu paseban tempat menerima tamu. Setelah itu ruangan tengah dan kamar tidur. Secara tradisi ruangan tengah adalah tempat paling privat dan sakral, karena meja abu terletak di ruangan tengah ini dengan meja abunya diletakkan foto-foto leluhur keluarga.
Ada dua kamar tidur disetiap sisi ruangan tengah. Sisi kiri untuk orang tua dan anak laki-laki, sisi kanan untuk anak perempuan. Di kanan kiri meja sembahyang ada pintu menuju gang pendek keruangan tengah. Pengaturan serupa. Selain kamar tidur, lokasi dapur juga selalu ada disisi kiri. Sampai saat ini pembagian ruangan ini masih ditaati.
Perlakukan Rumah Dengan Baik
Menurut Encek Oen Kong Tjoan (65 tahun) sebagai pemilik rumah kebaya di Cukang Galih, “Kita musti hati-hati sama rumah. Salah-salah bisa celaka”. Bahwa rumah tidak sekedar tempat berteduh. Seperti manusia, rumah juga harus diperlakukan dengan baik. Rumah yang mendapatkan perlakuan tidak pantas akan membawa efek jelek pada penghuninya. Sebaliknya mereka akan mendapatkan kebaikan kalau memperlakukan rumahnya dengan baik juga.
Selain ruangan, bahan dan cara pembangunan rumah juga ada aturannya. Pelataran depan tempat menjemur padi dilapisi tegel terakota atau batu bata. Tiang-tiang penting selalu memakai kayu jati atau nangka. Pasak kayu yang digunakan untuk menyatukan antara bagian rumahnya. Untuk dinding bisa dipakai kayu nangka atau jati, tapi ada juga yang memakai gedek atau anyaman bambu.
Tata cara pendirian rumah kebaya sangat rumit sehingga memerlukan konsultasi khusus. Waktu pembangunan juga diatur. Pemasangan belandar utama atau “toing chit” misalnya, harus saat malam bulan purnama. Sebelum gelap bulan, harus bagian atap sudah harus tertutup rapi. Kamar juga harus berbentuk bujursangkar, sedangkan ukuran disesuaikan dengan tanggal lahir dan juga ukuran kantong keuangan pemiliknya.
Rumah Kebaya Bahan yang paling sulit didapatkan adalah 3 “toing chit” (belandar utama) sepanjang minimal 4 meter. Biasanya dari kayu jati atau nangka. Kayu nangka banyak dipilih karena kekuatannya setara dengan jati, sedangkan harganya lebih murah. Seperti kayu jati, kayu nangka tahan serangan rayap. Mungkin karena rumitnya proses pembuatan rumah kebaya, ditambah konstruksinya yang tahan lama, rumah kebaya biasanya dipakai sampai beberapa generasi. Kalau terpaksa harus pindah, desainnya yang “knockdown” membuat rumah kebaya dapat dibawa dengan mudah.
Karena umumnya lokasi rumah kebaya ada di daerah pertanian, fungsi rumah kebaya sebagai rumah petani masih berjalan. Tiap musim panen padi masih dikeringkan di pelataran depan rumahnya. Pasebab yang luas, selain sebagai tempat menerima tamu, juga dipakai untuk menyimpan pupuk, bibit dan kebutuhan pertanian lainnya.
sayangnya saat ini rumah kebaya semakin sulit ditemui. Kalua pun ada hanya tersisa dua rumah kebaya. Semoga rumah kebaya yang tersisa dapat bertahan, sebagai bukti bagaimana ratusan tahun setelah penduduk Cina menempati Tangerang jejak bermukimnya masih bisa dilacak. Di pelosok kampung, rumah kebaya yang asli seakan menunjukan kehidupan dan budaya kaum petani Cina Benteng yang tidak banyak berubah sejak mereka mulai hutan Tangerang.
Alamat Rumah Kayu Goen
Jl. Rumah Kayu Goen No. 18 RT 05/RW 02 Kp. Cipari, Desa Ciakar, Kec. Panongan, Banten.
Sumber : https://www.law-justice.co/artikel/91621/rumah-kebaya-cina-yang-masih-tersisa/