Jangan Menjadi “Zombie”

(Oleh: Suhana Lim)

 

Sebagian orang keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia sudah tidak lagi mengenal ajaran-ajaran leluhurnya, yang sebenarnya sangat positif untuk bantu menuntun mereka menjalani kehidupannya!

Generasi muda keturunan Tionghoa umumnya sudah tidak mengerti lagi siapa itu :

– 孔夫子 Kǒng Fūzǐ – Confucius (551–479 Before Christ)

– 老子 Laozi – Lao Tzu (circa 6th century – 4th century Before Christ)

– Buddha Sidharta Gautama (circa 563 – 483 Before Christ)

Barangkali kalau pun mereka pernah mendengar atau mengetahui tentang Confucius, Lao Tzu dan Buddha; tahu nya hanya bahwa rupang ketiga tokoh itu terpajang di altar dalam rumah ibadah (kelenteng dan atau vihara). Kemungkinan besar tak pernah atau kurang mendalami seperti apa dan bagaimana ajaran mereka bertiga. Pengetahuan sebagian generasi muda Tionghoa umumnya hanya sebatas kepada nama ketiga tokoh penting yang sering dianggap sebagai “Guru Bangsa” leluhurnya saja, tapi tidak mengerti dengan detail seperti apa luhurnya ajaran-ajaran itu. Sebagian anak keturunan Tionghoa di Indonesia seakan sudah lebih nyaman menjadi “domba,” antara lain akibat dari kurangnya pengenalan akan ajaran leluhurnya sendiri oleh orang tua mereka; dan minimnya sekolah-sekolah Tionghoa di Indonesia.

Selama lebih dari tiga dasawarsa, selama jaman Orde Baru sekolah-sekolah dan penyelenggaraan festival adat budaya Tionghoa dilarang eksistensinya. Jadinya secara politis pun ada tekanan atau mempersulit bagi masyarakat keturunan Tionghoa untuk menjalankan budaya mereka sendiri. Jangan heran kalau sedikit demi sedikit mereka dijauhkan / diasingkan dari ajaran leluhurnya sendiri. Termasuk juga dalam aspek kepercayaan. Bukan sesuatu yang aneh pula kalau (karena aneka alasan) kepercayaan leluhur nya pun ditinggalkan. Bahkan kadang dijumpai, karena beragam faktor, sampai-sampai ada individu yang seakan menyembunyikan identitas ke Tionghoaan mereka!

Tanpa bermaksud su’udzon; bukan tak mungkin pula oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab diinformasikan bahwa menyalakan lilin, memegang hio, berziarah ke makam leluhur, menyembahyangi arwah orang tua dan leluhur, berkunjung ke kelenteng / vihara, mengonsumsi makanan yang telah dipakai untuk sembahyang; semua tadi dianggap tabu dan dilarang! Ajaran dari leluhur Tionghoa dibilang nya sebagai ajaran setan, menyembah berhala, perbuatan syirik, paham sesat dan sejenisnya! Akibat fenomena tidak bertanggung jawab dan negatif seperti diatas, membuat sebagian orang yang tidak paham menjadi termakan oleh propaganda hitam tidak bertanggung jawab tadi.

Padahal kalau kita mau mengenal dan atau telah mengerti, maka ajaran Confucius, Lao Tzu, dan Buddha Sidharta Gautama adalah semuanya ajaran mengenai welas asih, cinta, kasih sayang, kerendahan hati, ketulusan dan yang tak kalah pentingnya juga ajaran mengenai “孝 xiao” atau penghormatan dan bakti kepada orang tua dan leluhur (selama mereka masih hidup maupun setelah mereka berpulang). Jadi sama sekali tidak ada kaitan dengan “ajaran sesat, menyembah setan” seperti yang didengung-dengungkan! Bukankah kalau hanya karena kita menyembahyangi arwah orang tua artinya kita menyembahyangi setan; maka artinya kita adalah / juga anak setan?

Ada pula pendapat bahwa kalau kita sudah memeluk agama tertentu maka artinya kita sudah “kenal” dan “jadi anak Tuhan.” Silahkan saja kalau mau beranggapan begitu, dan tentu valid atau applicable hanya di lingkungan / kalangan kepercayaan tersebut saja. Kenyataannya kita semua paham bahwa di dunia ini terdapat banyak sistim kepercayaan. Masing-masing sistim kepercayaan memiliki ideologi dan konsep nya sendiri-sendiri. Itu mengapa adalah tidak berdasar kalau mengklaim bahwa jika tidak / belum beragama tertentu artinya “belum / tidak” mengenal Tuhan! Sebuah klaim dan atau pernyataan yang bias dan menyesatkan.

Jangan lupa pula bahwa filosofi “carrot & stick” juga disampaikan. Jika kita ikut dan menerima paham tertentu maka semuanya akan “di taken care of” dan nanti setelah kita tiada maka “surga” menanti kita. Sebaliknya, kalau kita tidak mau menerima ajaran tertentu maka “neraka” lah yang akan kita tempati. Tentu saja inipun sesuatu yang masih perlu dipertanyakan keabsahannya! Ini adalah juga sebuah klaim dan pernyataan yang bias serta menyesatkan!

Tetapi masalahnya, dan mungkin juga sayangnya, tidak tentu semua dari kita mau berpikir lebih kritis, lebih logis; tak jarang sebagian dari kita ya sudah main telan mentah-mentah saja semua marketing ploys seperti itu! Karena mungkin tergiur oleh kapling di “surga,” tergiur oleh “lembaran hidup baru,” “kesalahan / dosa-dosa kita bisa “dicuci.” Apalagi kalau sikon hidup kita sedang kurang bersahabat (secara ekonomi susah, sedang ada problem kesehatan, atau dalam sikon kritis / sekarat). Kadang ada pula sikon dimana seorang anggota keluarga (biasanya orang tua) yang cemas nanti kalau tidak ikutan pindah kepercayaan maka kalau sudah berpulang nanti tidak ada yang mengurusi; karena semua anggota keluarga (biasanya anak dan atau cucu) sudah memeluk agama yang beda! Nah semua sikon seperti ini tentu akan membuat seseorang lebih rentan untuk dibujuk, dipengaruhi, diarahkan atau bahkan secara halus ditekan buat berpindah kepercayaan. Harus kita akui pula fakta bahwa “karakter” kepercayaan pun tak beda dengan sifat manusia. Ada yang lebih agresif, ada yang lebih pasif dalam melancarkan PDKT nya ke prospektif folowers nya. Makanya sering timbul persaingan bahkan friksi dilapangan karena seakan lagi memperebutkan “teritori,” lagi menarik sebanyak-banyaknya “downlines” atau “franchisee.”

Hal lain ialah di masalah posisi kita sendiri (terutama generasi keturunan Tionghoa yang dilahirkan antara tahun 60 – 90an). Genre generasi yang kemungkinan besar terkena imbas dari meredupnya tradisi budaya Tionghoa di Indonesia, akibat kebijaksanaan rasis dari Orde Baru terhadap masalah tradisi Tionghoa. Nah kalau kita sendiri (yang diposisi sebagai orang tua atau sebagai kakek nenek) adalah sudah kurang mengerti akan “Roots” sendiri, maka bagaimana kita bisa mengajarkan anak cucu? Jika kita nya sendiri sudah jarang atau bahkan tak pernah terekspose dengan “Roots” leluhur, bagaimana kita memperkenalkan atau mengajarkannya ke anak cucu kita? Kalau kita nya sendiri sudah lebih banyak mendengarkan lagu-lagu non-Chinese, bagaimana kita mau keturunan kita untuk melek budaya leluhurnya sendiri? Jika kita nya sendiri telah lebih asyik dengan sinetron Hindi atau drama Korea, bagaimana kita bisa berharap agar anak cucu kita tertarik dengan budaya Tionghoa?

Adalah menjadi perhatian, tanggung-jawab sekaligus “pekerjaan rumah” kita semua untuk bersama-sama memerhatikan masalah identitas kultural leluhur. Tidak salah kalau ada pihak yang bilang bahwa “dimana bumi dipijak maka disitu langit dijunjung”; atau sangat lantang mengatakan bahwa “lahir besar tinggal dan meninggal kelak di bumi pertiwi!” Tentu pandangan seperti itu positif. Having said that, masalah kita kenal dan mengerti tradisi leluhur juga sesuatu yang penting. Bagian dari identitas / jati diri kita yang tidak bisa kita hilangkan. Jangan lupa pula, fakta bahwa regardless sudah beranak pinak bergenerasi; tetapi saat ada kerusuhan, tetap saja di “Cina-Cina kan!” Manakala ada insiden bernuansa politik, tetap saja jadi soft target untuk di kambing hitamkan! Ini memang adalah sesuatu yang tidak mengenakan, tetapi kita harus berani mengakui bahwa fenomena seperti ini kerap terjadi.

Secara fisik, kita bisa saja mengoplas wajah dan menyamarkan penampilan. Tetapi jejak DNA, darah yang mengalir dalam tubuh kita tidak bisa dipungkiri. Ini mengapa aspek etnisitas adalah come first; masalah lainnya, termasuk kepercayaan adalah di urutan berikutnya. Begitu kita lahir maka status etnis sudah langsung melekat di diri. Masalah agama, citizenship menyusul. Yang lahirnya ber agama tertentu tidak jaminan sepanjang hidup akan sama; likewise dengan status kewarganegaraan! Hence mengapa masalah identitas etnis, tradisi, budaya menjadi penting.

Jangan salah paham, ini bukan karena kita mau ekslusif dan mengotak-ngotakan masyarakat. Justru dengan kita telah kenal dan paham dengan warisan budaya leluhur sendiri, maka akan bikin kita menjadi sosok yang lebih “pede” dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh-pengaruh ideologi serta ajaran yang belum tentu positif dan sesuai.

Semoga kita semua masih mau kenal dan peduli dengan warisan cultural heritages dan identity sendiri. Semoga kita semua masih peduli dan memerhatikan soal identitas etnis masing-masing. Agar tidak menjadi sang kacang lupa kulit; agar jangan”amnesia” dari mana sang mentari terbit! Guna meminimalkan kita menjadi “zombie” yang tidak punya “Soul.” Agar jangan seperti pohon yang tak memiliki “akar.” Last but not least, agar jangan melupakan sebutan bahwa kita adalah “龙的传人 (the descendants of the dragon)!”

“A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots.” – Marcus Mosiah Garvey Jr. ONH (17 August 1887 – 10 June 1940) a Jamaican political activist, publisher, journalist, entrepreneur, and orator.

 

“四海之内, 皆兄弟也.”if you are a gentleman and you are polite to other people], all the people in the world are your brothers.” – Chinese saying.

 

 

Sumber: suhanalimfengshui.com