PENYIHIR LEMBAH HIJAU

(oleh: Navavirya)

Orang tua di Desa Kenari, selalu melarang anak-anak mereka untuk bermain-main di Lembah Hijau. Katanya, disana tinggal seorang penyihir jahat. Anak-anak tentu saja tak percaya. Mereka juga kecewa karena selalu dilarang berada di dekat Lembah Hijau, padahal tempat itu indah dan banyak ditumbuhi semak buah beri.

“Meli, aku tak mengerti kenapa kita dilarang pergi ke Lembah Hijau”, kata Popa.

Saat itu Popa sedang bersama Meli di pinggiran hutan. Kedua anak laki-laki dan perempuan itu kebetulan sama-sama diminta ibu masing-masing untuk mengumpulkan buah beri.

“Padahal kalau kita lihat dari kejauhan, disana lebih banyak semak buah beri daripada di sini”, kata Popa, lagi, “Aku juga tak akan terkejut jika ternyata buah beri yang ada di Lembah Hijau lebih besar daripada buah beri yang tumbuh di mana pun di desa ini.”

Lembah Hijau Besar

“Katanya, di sana ada penyihir jahat, kamu pasti tahu itu,” kata Meli, dan katanya lagi, “penyihir itu adalah nenek-nenek yang suka naik gerobak yang ditarik keledai. Aku pernah melihat sekali di pasar. Semua orang seperti takut padanya”. “Aku sendiri tidak yakin dia itu seorang penyihir. Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke Lembah Hijau untuk membuktikan apakah nenek itu benar-benar penyihir, atau bukan?” kata Popa.

‘Sekarang?” tanya Meli.

“Iya sekarang,” timpal Popa. “Sekali kita memetik buah beri di sana.” Tak lama kemudian, kedua anak itu pun sudah berjalan menuju Lembah Hijau. Lembah itu begitu indah kaarena ditumbuhi kalau semak buah beri di sekitar situ memang lebih banyak dan buahnya juga besar-besar. Mereka mengumpulkan buah beri, memasukkan ke keranjang yang mereka bawa, sambal sesekali memakan buah-buah yang segar dan manis itu.

Hingga akhirnya, mereka melihat sebuah gubuk mungil di tengah lembah. Gubuk itu terlihat tak terurus dan sedikit menyeramkan, sangat berlawanan dengan keadaan sekelilingnya yang terlihat begitu indah. Gerobak yang ditarik keledai, yang perna dilihat Meli, tak tampak di sekitar situ. Mungkinkah nenek penyihir itu sedang pergi?

Rasa penasaran Popa dan Meli membuat kedua anak itu berjalan menuju gubuk tersebut, setelah sebelumnya mereka meletakkan keranjang beri mereka di bawah sebuah pohon. Mereka lalu mengintip-ngintip di jendela. Itu sebenarnya perbuatan yang tidak baik. Namun, gara-gara mengintip-ngintip itulah mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Mereka melihat seorang peri! Ya, peri sungguhan yang berukuran sangat kecil dan tubuhnya mengeluarkan cahaya berpencar. Tapi peri itu tampak sedih, dan ia terkurung di sebuah bola kristal. Tanpa berpikir panjang lagi, Meli dan Popa masuk ke gubuk dan menghampiri bola itu. Si peri tampak terkejut sekali melihat ada dua yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Popa dan Meli menyapa si peri, dan mengenalkan nama mereka masing-masing.

“Namaku Lulu”, kata si peri. “Bertahun-tahun yang lalu aku ditangkap oleh nenek sihir yang tinggal di gubuk ini. Dulu, lembah ini adalah tempat tinggal para peri, dan akulah pemimpin para peri tersebut. Anak-anak juga menggunakan lembah ini sebagai tempat bermain. Hingga pada suatu hari, seorang penyihir memutuskan untuk tinggal di lembah ini. Ia pun menyihir anak-anak yang datang ke sini menjadi apa saja sesuka hatinya. Ada yang menjadi kodok, batu, atau rumput. Sebagian anak-anak itu bisa diselamatkan oleh para peri. Sayang, aku dijebak oleh si Nenek sihir. Tongkat ajaibku dirampasnya, dan aku dikurung di bola kristal ini. Aku tak bisa apa-apa tanpa tongkat sihirku.”

Dan sepertinya, sejak Peri Lulu ditangkap, banyak anak-anak yang hilang di lembah ini dan tak pernah ditemukan,” kata Popa. “Dan sejak saat itu, anak-anak dilarang masuk ke lembah ini oleh orang tua mereka.”

“Sepertinya begitu,” kata Peri Lulu, “Anak-anak yang hilang itu pastinya adalah teman-teman orang tua kalian. Sekarang begini saja, kalian harus menolong. Ambil tongkatku di kotak yang ada di atas lemari itu. Nenek sihir menaruh kotakku disitu. Ia tak bisa menggunakannya karena tongkat itu tak mau disuruh-suruh oleh seseorang yang berhati jahat. Untungnya si Nenek Sihir tak membuangnya, karena ia berpikir pasti akan tahu bagaimana cara menggunakannya di suatu hari nanti.”

Tanpa membuang waktu lagi, Popa mengambil kursi, meletakkannya di dekat lemari yang dimaksud, dan Meli pun naik ke situ, lalu berusaha menggapai kotak berisi tongkat Peri Lulu. Saking sibuknya, mereka tak mendengar suara gerobak si Nenek Sihir datang. Mereka terkejut sekali Ketika si Nenek Sihir tahu-tahu sudah masuk ke gubuk dan mengancam mereka.

“Dasar anak-anak nakal! Kuubah kalian menjadi pot bunga!”

Tongkat si Nenek Sihir mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan siap menyambar tubuh Popa dan Meli. Untung Meli tak kalah sigap. Tongkat Peri Lulu kini sudah berada di tangannya. Meli pun menangkis cahaya dari tongkat si Nenek Sihir dengan tongkat peri itu.

Nenek sihir itu berubah menjadi pot bunga. Popa dan Meli menarik napas lega. Mereka lalu melepaskan Peri Lulu dari bola kristal yang sudah mengurungnya selama bertahun-tahun. Meli menyentuhkan ujung tongkat ke bola kristal. Bola itu terangkat ke udara, namun Peri Lulu secara ajaib sudah berada di luar bola, dan kemudian bola tersebut melayang dan .. “PRANGGG!!!!”

Bola kristal itu menghantam pot bunga yang tak lain adalah si Nenek Sihir. Senjata makan tuan, kedua benda itu kini hancur berkeping-keping dengan sendirinya. Peri Lulu berterima kasih pada Popa dan Meli. Mulai sekarang, anak-anak bisa Kembali bermain di Lembah Hijau. Popa dan Meli sangat senang mendengarnya. Mereka berjanji akan tetap menjaga keindahan Lembah Hijau ini. Keduanya juga akan mengingatkan teman-teman mereka yang lan akan hal itu. Mereka keluar dari gubuk si nenek sihir. Peri Lulu mengarahkan tongkatnya dan tiba-tiba saja gubuk dan gerobak si Nenek Sihir seperti tersedot oleh sesuatu di langit dan kemudian hilang tanpa bekas. Tinggal si keledai saja yang tetap ada disitu dan sedang mengunyah rumput.

“Ini keledai sungguhan, ia tidak tahu apa-apa,” kata Peri Lulu.

“Tidak adil rasanya kala ia pun dibuat menghilang seperti si Nenek Sihir. Bawa saja pulang ke desa, Popa.” Popa menyanggupinya. Peri Lulu lalu menghilang di balik rumpun bunga. Popa dan Meli pulang ke desa dengan menunggangi keledai sambal membawa keranjang buah beri mereka.

“Petualangan kita kali ini sebenarnya mengerkan, Popa,” kata Meli.

“Untung kita bisa selamat. Tapi ini menjadi pelajaran buat kita, jika orang tua memperingati kita akan sesuatu, itu pasti ada alasannya. Orang tua kita tak akan mengatakan sesuatu hanya untuk menakut-nakuti kita saja”

“Dan jika ternyata ucapan orang tua kita tak sepenuhnya benar, setidaknya ucapan mereka menjadikan kita selalu waspada” timpal Popa. “Aku tak akan pernah melupakan petualangan kita hari ini. Tak akan pernah!”

Seringkali orang tua berkata bukan hanya asal bicara saja.

Dengarkan nasihat mereka baik-baik, jangan asal membantah.

Mungkin saja omongan mereka ada benarnya.