Pengertian tentang Tuhan di dalam Pemujaan Kelenteng (Bagian 1)
Pengertian tentang Tuhan di dalam Pemujaan Kelenteng
(Bagian 1)
Pengertian Tuhan dalam kepercayaan Tionghoa sebenarnya juga tidak berbeda dengan agama-agama yang lain, dianggap sebagai Pencipta Alam Semesta dan segala isinya. Dalam kepercayaan kalangan rakyat, Tuhan biasanya disebut sebagai “Tian” (Thian — Hokkian) atau “Shang-di” (Siang Te — Hokkian). Tian adalah penguasa tertinggi alam semesta ini, sebab itu, kedudukanNya berada di tempat yang paling agung, sedang para dewa dan malaikat yang lain adalah para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan di alam semesta ini, sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Pemujaan Tian dan Shang Di
Secara umum orang beranggapan bahwa “Tian” dan “Shang-di” adalah tidak berbeda. Sebetulnya kedua istilah ini memiliki kandungan arti yang tidak sama. Orang Tionghoa umumnya percaya bahwa alam semesta ini selalu terdiri dari dua unsur yaitu unsur Negatif dan Positif atau yang secara umum disebut “Yin” dan Yang (Im-yang — Hokkian). Kepercayaan akan Yin dan Yang ini berlaku untuk semua hal, termasuk kepercayaan akan dunia-fana dan alam-baka, roh jahat (para siluman, iblis, saitan dan lain-lain) dan roh baik (malaikat, dewata dan lain-lain). Di dalam sistim pemerintahan, hal yang selalu bersifat dua ini tercermin dari adanya pemerintahan di dunia dan pemerintahan surga yang dilakukan oleh para dewata yang dipuncaki oleh Shang-di. Rakyat percaya bahwa pemerintahan surga memiliki struktur yang sama dengan sistim pemerintahan di dunia. Kalau pemerintahan dunia terdiri dari kaisar, para keluarganya, perdana-menteri, menteri-menteri sipil dan militer, menteri bagian upacara, pertanian dan lain-lain, maka pemerintahan surga pun dipimpin oleh Shang-di dan dibantu para dewa-dewa baik sipil maupun militer untuk mengatur tata tertib di alam semesta ini. Sebab inilah maka para Huang-di (Kaisar) yang di bumi merasa perlu untuk memuja Shang-di (Kaisar yang berkedudukan di atas) untuk mohon perlindungan dan berkah serta petunjuk-petunjuk untuk menjalankan roda pemerintahan di mayapada ini agar selalu selaras dengan kehendak Shang-di.
Sebetulnya istilah “Tian” berarti tempat tinggal Shang-di. Tapi karena kebingungan akan makna dan kekurangan pengetahuan akan bahasa kuno, maka tempat tinggal atau benda milik dari roh suci itu seringkali dipersonifikasikan dan dipuja sebagai pengganti atau pelengkap roh suci itu sendiri. Karena itulah, menurut E.T.C. Werner dalam bukunya “Myths and Legends of China”, Tian kemudian dipuja dan diwujudkan sebagai Shang-di sendiri. Jadi pemujaan Shang-di sudah ada terlebih dulu sebelum hal yang sama dilakukan terhadap “Tian”.
Pemujaan terhadap Shang-di hanya boleh dilakukan oleh kaisar dan para keluarganya, karena beranggapan bahwa Shang-di adalah leluhur mereka dan memberikan mandat untuk memerintah di bumi ini. Rakyat biasa tidak diperbolehkan memuja Shang-di, karena dengan berbuat begitu, dapat dianggap mendudukkan dirinya sebagai keluarga kaisar, suatu pelanggaran yang diancam dengan hukuman mati. Ketaatan pada kaisar yang menamakan dirinya sebagai wakil Shang-di, dengan menghormat dan mematuhi segala kehendaknya, sudah dianggap sebagai penghormatan dan pemujaan kepada Shang-di sendiri secara tidak langsung. Jadi pemujaan terhadap Shang-di tidak dapat dilakukan secara resmi dalam suatu upacara seperti yang dilakukan oleh para pejabat kerajaan. Upacara sembahyang kepada Shang-di hanya boleh dilakukan oleh keluarga kerajaan dan dipimpin oleh kaisar sendiri sebagai pendeta agung, dibantu oleh anggota keluarganya dan para petinggi kerajaan yang lain. Pada saat ini rakyat jelata tidak diperkenankan untuk menghadiri ataupun mengadakan sembahyang walau di kediamannya sendiri.
Karena “Tian” yang merupakan kediaman para roh-roh suci kemudian juga dipersonifikasi dan dipuja, maka rakyat jelata yang tidak mempunyai hak untuk memuja Shang-di lalu mengalihkan pemujaan kepada Tian. Walaupun kaisar juga memuja Tian, tapi rakyat jelata tidak dilarang untuk memujanya juga. Sembahyang terhadap Tian biasanya dilakukan oleh pihak kerajaan di altar kerajaan yang disebut “Tian-tan” yang ada di ibukota Beijing. Sedang rakyat biasanya mengadakan dirumahnya masing-masing atau ditepi jalan, di depan pintu. Tanpa upacara macam-macam, cukup dengan sebatang dupa yang disojakan ke arah langit.
Lama-kelamaan, terutama sejak jaman dinasti Song (Masehi 960 — 1280), batasan antara “Tian” dan “Shang-di” menjadi kabur. Arti dari kedua istilah itu menjadi tak jelas lagi perbedaannya. Kekaburan-arti ini terus menerus berlangsung sampai sekarang. Apalagi kaisar-kaisar pada dinasti yang kemudian tidak begitu ketat lagi dalam memberlakukan larangan pemujaan Shang-di oleh rakyat. Akibatnya, orang kebanyakan berkata bahwa mereka mengadakan persembahan sederhana kepada Shang-di, pada waktu menyalakan dupa dan lilin. Padahal sebetulnya ia tidak berhak berbuat begitu, walaupun sangat menghormatinya. Ia hanya tahu bahwa Tian adalah Shang-di dan Shang-di adalah Tian.
Baca juga Pengertian tentang Tuhan di dalam Pemujaan Kelenteng (Bagian 2) klik di sini
Sumber: Buku Dewa-Dewi Kelenteng, Yayasan Kelenteng Sampookong, Gedung Batu – Semarang, 1990