Maha Dewa yang Paling Berkuasa di Seluruh Alam Semesta – Giok Hong Siang Tee (Yu Huang Shang Di)

Maha Dewa yang Paling Berkuasa di Seluruh Alam Semesta - Giok Hong Siang Tee (Yu Huang Shang Di)

Maha Dewa yang Paling Berkuasa di Seluruh Alam Semesta

Giok Hong Siang Tee (Yu Huang Shang Di)

Sebelum Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan oleh Orang Tionghoa, ada kisah awal dari Perayaan yang cukup menarik untuk disimak.

Hari lahir Giok Hong Siang Tee atau Thian di Kalangan Orang Tionghoa hari lahir itu tidak dirayakan pada Tanggal 1 Cia Gwee atau Tanggal 1 Bulan 1 pada Penanggalan Imlek. Atau yang disebut juga pada saat “Pesta Musim Semi” tiba, juga disebut Tahun Baru Imlek. Tapi Hari Lahir Giok Hong Siang Tee ini malahan dirayakan pada Tanggal 9 Cia Gwee ( Tanggal 9 Bulan 1 Penanggalan Imlek).

Sembahyang Tuhan atau Thian ini bisa dikatakan sebagai Sembahyang yang sangat sederhana dilakukan di Kalangan Orang Tionghoa atau dalam arti tidak dirayakan besar-besaran, seperti misal-nya Tahun Baru Imlek atau Cap Go Meh. Orang Tionghoa Peranakan di Indonesia pada umum-nya menyebut Sembahyang Tuhan atau Thian ini sebagai “Sembahyang Sam Kai” atau “Sembahyang Keng Ti Kong”.

Adapun asal usul dari adat kebiasaan Sembahyang ini bisa kita temukan dalam Upacara-upacara Orang Tionghoa kuno pada zaman dahulu. Kita juga bisa menemukan kebiasaan ini dalam berbagai tulisan atau Buku-buku mengenai Upacara adat seperti ini. Upacara ini bisa dijelaskan pada mula-nya bersumber pada “Pemujaan Alam Semesta”. Atau Sembahyang pada Pencipta Alam, bagi Penganut Agama lain “Pencipta Alam” itu disebut Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam pandangan Orang Tionghoa begini, bahwa Alam Semesta itu terdiri dari Tiga Dunia (Sam Kai). Mereka satu per satu disebut : Langit (Thian), Bumi (Ti), dan Air (Sui).

Thian (Langit) terdiri dari benda-benda Angkasa seperti Matahari, Bulan, dan Bintang, sedangkan Rembulan diyakini oleh Orang Tionghoa bisa hamil seperti layak-nya Manusia dan Bulan telah menjelma menjadi segala sesuatu yang ada di atas muka Bumi ini. Bumi diyakini oleh Orang Tionghoa sebagai yang menyediakan makanan dan bahan kebutuhan hidup Manusia sehari-hari. Sedangkan air dan udara diyakini oleh mereka sebagai sumber Kehidupan. Tanpa kedua unsur atau udara dan air itu maka Makhluk Hidup di muka Bumi ini tidak akan bisa hidup sempurna.

Langit, Bumi dan Air oleh Orang-orang Tionghoa diyakini mempunyai “Penguasa”. Malah Penguasa-nya berjumlah tiga, mereka disebut Sam Kuan Tai Ti yang terdiri dari :

  1. Thian Kuan Tai Ti ( Penguasa Langit )
  2. Te Kuan Tai Ti ( Penguasa Bumi )
  3. Sui Kuan Tai Ti ( Penguasa Air ).

Mereka itu dianggap sebagai Tri Tunggal seperti keyakinan Umat Nasrani, yaitu kepada Allah Bapa, Allah Putera (Yesus Kristus) dan Roh Kudus. Tapi kepercayaan Orang Tionghoa lain dengan kepercayaan Nasrani, mereka percaya kepada “Sam Kuan Tai Ti” yang melindungi jagat raya dan se-isi-nya.  Baru sesudah Manusia di muka Bumi ini mengikuti perkembangan zaman, yang berjalan terus dan lebih maju dan lebih maju lagi. Kepercayaan ini pun mulai berubah dan yang dipuja menjadi tinggal satu atau tunggal yaitu satu pujaan, Thian Kong ( Tuhan Yang Maha Esa ).

Sesudah Kaum Taois menyesuaikan pemujaan mereka, kepercayaan ini oleh Kaisar dari Dinasti Song disahkan menjadi cuma satu pemujaan. Penguasa itu disebut sebagai  “Maha Dewa yang paling Berkuasa di Seluruh Alam Semesta”. Maha Dewa itu juga disebut sebagai “Giok Hong Siang Tee”.

Kisah Giok Hong Siang Tee:

Pada zaman dahulu kala di daratan Tiongkok ada sebuah Negeri bernama Kuang Yuang Miao Lo (Negeri yang bercahaya Terang Benderang dan Elok penuh Suka-cita). Rakyat Kerajaan itu semuanya hidup bahagia. Apa saja yang dikehendaki oleh Rakyat Negeri itu pasti akan terkabul.

Kemudian Rakyat Negeri itu mengira, jika Rakyat bisa hidup bahagia, apalagi seorang Raja, maksud-nya yaitu Raja mereka. Mereka berpendapat Raja dan Permaisuri pun akan hidup bahagia seperti mereka. Ternyata dugaan mereka itu sangat keliru sekali.

Raja Tsing Teh ( Ceng Tee atau Raja Dermawan Suci Murni ) maupun Permaisuri Pao Yueh Goat Kuang ( Sinar KiMiibulan Yang Indah ), pada saat itu justru sedang bersusah hati dan berduka cita. Kesusahan dan kedukaan mereka itu ternyata mereka tidak mendapatkan Keturunan yang bisa melanjutkan Kerajaan mereka sebagai penyambut Keturunan-nya.

Pada masa itu Keturunan atau Anak Lelaki bagi mereka adalah mutlak mereka dambakan, karena untuk menyambung dan melanjutkan tahta Kerajaan-nya kelak, yaitu sesudah mereka meninggal dunia. Ketika itu usia Raja dan Permaisuri sudah sangat lanjut. Tentu saja mereka ber-dua jadi amat khawatir dan sangat berduka karena tidak punya penerus yang akan melanjutkan menjadi Raja menggantikan mereka di kemudian hari.

Pada suatu hari…

Raja Dermawan Suci Murni ini memerintahkan Menteri-nya untuk mengundang Pendeta Taois. Mereka diminta untuk membantu ber-Sembahyang di Kelenteng-Kelenteng dan membacakan doa-doa agar Raja bisa memperoleh Keturunan yang di kemudian hari Sang Putera ini akan duduk di Singgasana sebagai pengganti-nya.

Siang dan malam Raja Dermawan Suci Murni dan Permaisuri-nya terus berdoa kepada Thian ( Tuhan Yang Maha Esa ). Mereka memohon diberi seorang Putera sebagai ahli waris mereka. Namun, sesudah bertahun-tahun lama-nya mereka berdoa dan berharap-harap dengan penuh harap dan cemas, ternyata Permaisuri belum juga hamil. Namun, mereka tidak bosan-bosan dan tidak putus harapan mereka terus memohon kepada Thian Yang Maha Kuasa.

Akhirnya pada suatu malam Permaisuri bermimpi. Dalam mimpi-nya dia bertemu dengan Tai Siang Li Lo Kun yang sedang naik kereta Naga emas. Ketika itu Beliau sedang menggendong Anak kecil yang bercahaya. Kemudian Permaisuri memohon kepada Tai Siang Li Lo Kun agar bayi itu diserahkan kepada-nya.

“Baginda sudah berusia sangat lanjut, tapi tidak mempunyai Keturunan, hamba mohon Anak itu diserahkan saja kepada kami,” kata Permaisuri.

“Baik-lah”, kata Tai Siang Li Lo Kun alias Lao Tzu.

Benar saja tidak berapa lama Permaisuri pun hamil. Selang sembilan bulan kemudian lahir-lah seorang Anak Lelaki yang manis dan sehat. Ternyata harapan dan cita-cita Raja dan Permaisuri pun sudah terkabul. Bukan main gembira-nya Raja dan Permaisuri atas karunia ini. Mereka sangat bersyukur.

Di Istana mereka sekarang seolah telah muncuh cahaya harapan. Anak itu kemudian diasuh dan dibesarkan oleh Para Pengasuh-nya dan diperlakukan dengan kasih sayang.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun sudah berganti menjadi tahun. Begitu pun tahun sudah berganti dengan tahun yang baru.

Pada suatu hari, Raja yang bijaksana ini berpikir, “Aku harus mencari sebab-sebab dari penyakit yang sering menyerang Manusia ini, sehingga sering membuat mereka harus meninggal dan berduka cita.”

Oleh karena itu, Sang Raja yang bijaksana ini berniat akan bertapa dan menyelidiki masalah penyakit dan kematian atas diri Manusia itu. Sang Raja bijaksana ini ingin melepaskan semua Manusia dari berbagai bencana dan duka serta penderitaan-nya yang diderita-nya sepanjang hidup-nya.

Maka pergi-lah Sang Raja bijaksana ini meninggalkan Istana-nya yang agung dan permai itu. Dia menuju ke Siu Yen ( Can San yang permai di Negeri P’u Ming (Negeri yang selalu Bercahaya), yang ada di bagian Selatan. Di sini-lah Sang Raja bijaksana itu bertapa sampai akhirnya dia menemukan pengetahuan tentang kesukaran yang dialami Umat Manusia pada umum-nya pada masa itu.

Kemudian Sang Raja yang bijaksana ini kembali ke Negeri-nya dengan membawa bekal pengetahuan-nya yang maha penting itu untuk oleh-oleh bagi Rakyat-nya yang dia cintai. Di tengah-tengah Masyarakat-nya Raja Bijaksana ini mengajarkan pelajaran Kekal Sejati dan mengobati Orang yang sakit, menolong Orang yang ditimpa musibah dan kesusahan. Menghibur Orang-orang yang berduka cita dan seterusnya.

Pada suatu hari, maut yang sudah menjadi warisan Umat Manusia ternyata tidak bisa dihindarkan, maka mangkat-lah Sang Raja yang bijaksana ini dan hidup abadi di Langit.

Pada saat Sang Raja bijaksana meninggal dunia, seluruh Rakyat Negeri-nya berkabung dan ikut berduka cita. Bunga-bunga dan berbagai tanaman menjadi layu, bahkan daun-daun-nya berguguran ke tanah dan berserakan. Bumi pun basah dan dingin, awan seolah-olah ikut bermuram durja, berwarna kelam berkabut. Bintang-bintang di Langit seolah gelisah bersembunyi di balik gunung-gunung yang tinggi.

Sang Raja yang bijaksana itu sudah menjadi Roh dan Beliau memandang ke Bumi, ketika itu Beliau sangat terharu menyaksikan keadaan yang demikian menyedihkan itu. Bahkan dia merasa berkewajiban untuk melepaskan penderitaan Umat Manusia itu dan Beliau ingin turun kembali ke muka Bumi.

Karena sudah tak tertahan lagi menyaksikan penderitaan Rakyat-nya lalu Beliau turun ke Bumi setiap 800 tahun sekali. Selang 800 tahun kemudian, kembali Sang Raja yang bijaksana itu pun turun ke Bumi. Beliau menata kembali tanam-tanaman yang telah layu, hujan diturunkan agar bisa membasahi Bumi, sehingga tanaman dan bunga-bunga bisa tumbuh subur dan berkembang memeriahkan muka Bumi yang tadi-nya gersang dan sunyi menjadi ceria kembali.

Di sana sini satwa dan unggas berterbangan dengan riang gembira. Suara cicit burung menyemarakkan hutan rimba yang semula sunyi bagai kuburan itu. Rakyat bersorak gembira menyambut tahun yang baru dengan kesemarakkan musim semi dan bunga yang indah itu, lalu jika mereka bertemu dengan Orangtua, Sanak Famili, maupun Para Tetangga, dan handai taulan-nya, mereka segera mengucapkan :”Selamat Tahun Baru“.

Sang Raja yang bijaksana ini girang sekali karena Beliau mampu mendatangkan Kebahagiaan bagi Umat Manusia di muka Bumi ini. Namun, karena Beliau sekarang bukan Penduduk Bumi lagi, maka Sang Raja yang bijaksana ini pun kembali ke Langit. Tapi Sang Raja bijaksana ini berjanji pada Umat Manusia, di awal tahun dia akan datang ke Bumi untuk Membahagiakan Umat Manusia.

Selang ribuan tahun kemudian, Manusia yang dibahagiakan oleh Sang Raja yang bijaksana itu sudah makna Kebahagiaan yang diberikan oleh Raja yang bijaksana itu. Dimana-mana mulai timbul berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Umat Manusia.

Ketika Sang Raja yang bijaksana untuk turun lagi terakhir kali-nya ke muka Bumi, Beliau malah ditangkap oleh Manusia. Kemudian Beliau disiksa dan dianiaya. Dengan kuasa-nya Beliau, Beliau bisa bebas dan sejak saat itu Beliau tidak mau lagi kembali ke muka Bumi. Ketika Rakyat mulai menyadari bahwa yang mereka siksa itu adalah Raja Kebijaksanaan yang telah menganugerahi Kebahagiaan kepada mereka maka mereka pun jadi kaget. Tapi semua itu sudah terlambat. Kemudian Rakyat menamakan Raja yang bijaksana itu dengan sebutan “Giok Hong Siang Tee“. Orang Tionghoa menganggap bahwa “Giok Hong Siang Tee” adalah “Yang Tertinggi dari Segala yang Paling Tinggi”  yang ada di muka Bumi ini. Kekuasaan-nya sangat tidak terbatas.

Di Indonesia Orang-orang Tionghoa memperingati Hari Lahir “Giok Hong Siang Tee” dengan sangat hikmat, yaitu pada setiap Tanggal 9 Bulan 1 Imlek atau 8 hari sesudah Perayaan Tahun Baru Imlek, Hari Kelahiran itu dirayakan dengan ber-Sembahyang.

Ber-hari-hari sebelum mulai melaksanakan Sembahyang pada “Giok Hong Siang Tee”, Orang-orang Tionghoa ini membersihkan diri, Mereka tidak boleh memiliki pikiran yang tidak sopan, dilarang bicara yang tidak pantas dan harus bersih tubuh dan hati-nya atau terkadang Orang itu Cia-cay (mutih).

Sehari menjelang akan dirayakan-nya Sembahyang Tuhan, Orang-orang Tionghoa membersihkan rumah mereka, termasuk semua alat rumah tangga-nya.

Malam hari-nya pada Tanggal 8 Bulan 1 Imlek, mereka menyediakan sebuah meja sesaji untuk menghormati “Giok Hong Siang Tee” yang mereka puja itu.

Sajian yang umum-nya disajikan di meja Sembahyang itu biasanya manisan, misal-nya manisan ceremai, manisan kolang-kaling, buah-buahan, sepasang lilin, dan di kiri kanan meja Sembahyang biasanya diikatkan sepasang pohon tebu.

Mengenai pohon tebu ini pun ada kisah-nya. Tidak lupa juga bunga-bunga yang harum bau-nya sebagai lambang Musim bunga. Dupa wangi kayu gaharu dibakar untuk mengharumkan ruangan.

Pada tengah malam, semua Orang ber-Sembahyang di depan meja Sembahyang untuk mengucapkan Terimakasih kepada Giok Hong Siang Tee (Thian). Orang Tionghoa menamakan Sembahyang ini sebagai “Sembahyang kepada Tuhan”.

Sebenarnya Sembahyang pada “Giok Hong Siang Tee” ini dilakukan pada Hari ke-9, atau tepat-nya pada Tanggal 9 Bulan 1 Tahun atau Penanggalan Imlek. Namun dalam Buku ini untuk menghormati Thian (Tuhan) mengenai hal ini dikedepankan sebagai bagian yang harus mendapat tempat terhormat. Falsafah tentang Kaisar Tsing The (Cen Tee) ini bisa kita hubungkan dengan Sang Matahari yang mampu membahagiakan Umat Manusia. Sedangkan Permaisuri Pao Kuang sebagai Sang Rembulan.

Sumber: Hari-hari Raya Tionghoa.

Buku Kisah Para Suci, Penerbit Yayasan Bakti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *