Kwee Tek Hoay, Sang Permata Terpendam

Oleh Marga Singgih & Yasa Singgih

Kwee Tek Hoay? Rasanya asing nama ini bagi masyarakat umum & kalangan Buddhis, bahkan beberapa warga Tridharma pun tidak sepenuhnya tau tentang beliau. Kwee Tek Hoay adalah pahlawan nasional dalam dunia sastra, sosok besar dalam kebangkitan agama Buddha & perkembangan organisasi Tridharma di Indonesia. Nama besar nya sempat tenggelam di rezim orde baru karena ia merupakan seorang keturunan Tionghoa, namun belakangan ini semakin banyak orang yang menyadari dan mengangkat nama & jasa besar Kwee Tek Hoay. Umat Tridharma patut berbangga hati memiliki sosok Kwee Tek Hoay sebagai panutan, bahkan saudara kita yang Buddhis pun berterima kasih kepada beliau.

Kini, ia dikenal sebagai Pelopor Kebangkitan & Pengembang Agama Buddha di Indonesia yang pertama, Pahlawan Sastra Melayu Tionghoa di Indonesia & yang terbaru di tahun 2012 nama beliau diresmikan menjadi Kawasan China Town Kwee Tek Hoay (Glodok & Sekitarnya di Jakarta). Banyak orang yang tidak tau pula bahwa sebenarnya Kwee merupakan Tionghoa yang ikut bersimpati gerakan nasionalis dan bumi putera, ia merasa sebagai Tionghoa kita harus tetap mencintai bumi Indonesia dimana kita tinggal.

Kwee Tek Hoay lahir di Bogor pada tanggal 31 Juli 1886 dan meninggal pada tanggal 4 Juli 1952 dalam usia 66 tahun di Desa Warung Ceuri, Cicurug, Priangan, Jawa Barat. Jenazah-nya dierabukan di Muara Karang Jakarta pada tanggal 6 Juli 1952 bertepatan dengan peringatan Hari Asadha.

Kwee Tek Hoay menikah pada bulan Februari tahun 1906 (12 hari sebelum Sin Cia) dengan Oey Hiang Nio dan dikaruniai tiga anak yaitu seorang anak peremupan (Kwee Yat Nio) dan dua anak lelaki (Kwee Tjoen Kow dan Kwee Tjoen Gin). Kwee Yat Nio yang kemudian di kenal dengan nama Visakha Gunadharma menikah dengan Tjoa Hin Hoey sehingga dikemudian hari juga dikenal sebagai Ny. Tjoa atau Ibu Visakha di kalangan organisasi Buddhis. Selanjutnya Ny. Tjoa juga turut serta membantu Kwee Tek Hoay di dalam penerbitan Majalah Moestika Dharma.

Seperti sebagian besar anak-anak Tionghoa pada jaman itu, Kwee Tek Hoay mendapat pendidikan sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Hokkian. Namun demikian ia dapat menguasai Bahasa Inggris dengan baik berkat belajar secara privat kepada seorang berkebangsaan India, S. Maharaja yang menjadi guru di Tiong Hoa Hwee Koan di Bogor. Sedangkan bahasa Belanda dipelajarinya dari Lebberton dan Wotman pengurus Loge Theosophie di Bogor.

Kwee Tek Hoay mulai senang mengarang sejak ia masih di sekolah, tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia mulai menulis buku dan mengembangkan bakatnya di bidang jurnalistik sejak masih remaja dan tulisan-tulisannya dimuat di berbagai surat kabar pada saat itu seperti Li Po, Sin Po, Ho Po dan Bintang Betawi. Sebagai penulis, ia kerap kali menggunakan inisial KTH. Sehari-hari, Kwee Tek Hoay adalah seorang pedagang yang membuka toko tekstil (Toko KTH) dan juga Percetakan Moestika.

Menurut Prof. Dr. Claudine Lombard-Salmon dari Perancis dalam bukunya yang berjudul Literature in Malay by The Chinese of Indonesia, sejak tahun 1902 Kwee Tek Hoay telah menyumbangkan banyak karya tulisnya di banyak surat kabar pada masa itu. Bakatnya di bidang jurnalistik semakin menonjol sekitar masa Perang Dunia I (1914 – 1918), ia sering mengirimkan tulisan-tulisan mengenai perang dunia pertama itu. Pada tahun 1952, Kwee Tek Hoay menjadi Pimpinan Redaksi Harian Sin Bin di Bandung, ia juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Mingguan Panorama sejak tahun 1926 – 1932 dan juga Majalah Bulanan Moestika Romans pada tahun 1930 – 1932. Pada tahun 1932 – 1934 ia mendirikan Majalah Mingguan Moestika Dharma dan Majalah Bulanan Sam Kauw Gwat Po (1934 – 1947). Majalah Moestika Dharma dan Sam Kauw Gwat Po berisi tentang artikel karya Kwee Tek Hoay dan rekan-rekannya yang kebanyakan bertemakan Buddhisme, Confucianisme dan Taoisme. Namun Kwee Tek Hoay juga sering menulis artikel-artikel tentang ajaran lainnya. Ini membuktikkan betapa luas pengetahuan Kwee Tek Hoay. Majalah Sam Kauw Gwat Po ini kemudian menjadi sumber dan media komunikasi bagi organisasi Sam Kauw Hwee yang diprakarsai oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1934.

Berikutnya Sam Kauw Hwee diganti namanya menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI). Lalu di kemudian hari GSKI berubah menjadi Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) yang resmi berdiri tanggal 20 Februari 1952 jam 12.00 WIB dan berbentuk Badan Hukum / Rechtspersoon / Legal Body berdasarkan Penepatan Menteri Kehakiman RI No. JA5/31/13 tanggal 9 April 1953 dan termuat dalam tambahan Berita Negara RI No 33. Tanggal 24 April 1953 urutan No. 3.

Sastrawan

Kwee Tek Hoay juga ternyata seorang pecinta musik. Ia mempunyai seperangkat alat musik tradisional seperti kecapi, gambang, suling, dan piano. Dalam waktu senggangnya ia mengarang lagu dan mengaransir lagu tersebut dengan piano yang terdapat di rumahnya di Cicurug. Kegemarannya menyanyi membuat banyak temannya datang berkumpul ke Cicurug bila malam tiba & mereka pun bernyanyi bersama-sama. Tidak sedikit lagu yang dikarangnya salah satu diantaranya yang hingga sekarang masih dinyanyikan oleh umat Tridharma adalah lagu Tridharma Gita.

Pada masa muda-nya, Kwee Tek Hoay juga gemar bermain sandiwara. Pada tahun 1926 hingga 1930 ia memimpin kelompok sandiwara Miss Intan yang cukup terkenal pada masa itu. Perkumpulan sandiawa ini sering berkeliling ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kebanyakan judul sandiwara diambil dari novel karangan Kwee Tek Hoay sendiri seperti Drama Gunung Merapi, Drama Dari Krakatau, Drama Di Boven Digoel dan Boenga Roos dari Tjikembang. Novel-novel tersebut juga sering dimainkan oleh opera Dardanella Mr Pedro dengan artis / aktor seperti Miss Dja, Tan Tjeng Bok dan Andjas Asmara. Kini beberapa karya sastra Kwee Tek Hoay pun sering dimainkan oleh beberapa grup teater seperti Teater Koma & Teater Bejana salah satunya adalah Zonder Lentera dan Boenga Roos dari Tjikembang.

Di samping itu, Kwee Tek Hoay juga produktif dalam membuat syair dan puisi. Banyak karyanya yang dimuat dalam Majalah Panorama. Pernah pula ia menerbitkan buku kumpulan syair melayu yang disuntingnya sendiri yang berjudul Bouquet Panorama. Disitu terdapat syair-syair para pengarang ternama yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Melayu.

Selama lebih dari 20 tahun, hasil karya sendiri maupun terjemahan / saduran yang dihasilkan mencapai lebih dari 100 judul yang berbeda beda. Mulai dari tema agama Buddhisme, Confucianisme dan Taoisme sampai ke Hinduisme, Brahmaisme, Kristen, Islam dan Theosofie. Kwee Tek Hoay juga ahli menulis berbagai macam filsafat seperti Omar Khayyam, Rabindranath Tagore & Bhagavad Gita. Ada juga karya Kwee Tek Hoay mengenai drama, hikayat kuno (Yunani, India, Cina), ilmu gaib, mistik, puisi, sajak, syair, novel, roman, cerita jenaka, detektif, musik & sosial budaya. Sehingga tak heran apabila Kwee Tek Hoay dijuluki sebagai Pengarang Serba Bisa (All Round Writer)

Artikelnya dalam Moestika Romans diterjemahkan ke dalam baasa Inggris oleh Prof Lea S. Williams, Chairman Dept Of Asian History, Brown University, Rhode Island, yang diterbitkan sebagai buku dengan judul The Origins Of The Modern Chinese Movement In Indonesia oleh Cornell University, South East Asia Program, Modern Indonesia Project Translation Series, Ithaka New York.

Pada tanggal 7 November 2011, sesuai dengan KEPPRES R.I. NO. 115 /TK/TAHUN 2011 Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memberikan apresiasi tinggi kepada Kwee Tek Hoay dengan memberikan Piagam Penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma atau Pahlawan Sastrawan Melayu atas karya-karyanya yang sangat berguna untuk bangsa Indonesia. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Presiden SBY kepada salah satu keturunan Kwee Tek Hoay di Istana Negara dalam rangka menyambut Hari Pahlawan (10 November 2011)

Aktivis Sosial dan Rohaniwan

Di bidang sosial, Kwee Tek Hoay aktif menjadi Ketua dan pengurus beberapa perkumpulan sosial, seperti Perkumpulan Penolong Kematian yang kemudian merintis pendirian krematorium di Pluit / Muara Karang, Jakarta. Ia juga merupakan salah seorang pendiri dari organisasi Tiong Hoa Hwee Koan – Bogor pada tahun 1912.

Banyak orang yang tidak tahu bahwa jasa Kwee Tek Hoay dalam kebangkitan agama Buddha di Indonesia setelah mengalami masa tenggelamnya sangatlah besar. Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, agama Buddha di bumi nusantara ini bisa dikatakan sunyi senyap. Kwee Tek Hoay lah orang Indonesia pertama yang menjadi pelopor kebangkitan Agama Buddha yang pertama di Indonesia, khususnya Tridharma (Buddhisme, Confucianisme & Taoisme). Terbukti dari karya-karya buku & majalah yang diterbitkan Kwee Tek Hoay sejak tahun 1920, serta mendirikan organisasi Sam Kauw Hwee di tahun 1930an. Maka dari itu selain dikenal sebagai pelopor kebangkitan Agama Buddha yang pertama di Indonesia, beliau juga dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia.

Pada tanggal 24 Maret 1934, Kwee Tek Hoay bersama Yosias Van Dienst (Director General International Buddhist Mission Bagian Java) mengundang Bikkhu Narada dari Sri Langka. Bikkhu Narada memberikan ceramah-ceramah di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan dikoordinir oleh Sam Kauw Hwee di masing-masing daerah yang bersangkutan. Itu semua tidak lepas dari jasa Kwee Tek Hoay yang mempelopori dan memotori Sam Kauw Hwee di Indonesia. Bahkan organisasi Sam Kauw Hwee pun menjadi tempat berlabuh The Boan An (Sukong Asinjinarakita) untuk berkarya sebelum ditahbiskan menjadi Biksu. The Boan An sempat menjadi Ketua Gabungan Sam Kauw Indonesia. Maka dari itu peran Sam Kauw Hwee dan Kwee Tek Hoay tidak bisa dilupakan dari kebangkitan Agama Buddha di Indonesia. Pada tanggal 5 Agustus 2012 Kwee Tek Hoay mendapatkan piagam penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha sebagai Pelopor / Pengembang Agama Buddha di Indonesia & sebagai Bapak Tridharma Indonesia.

Atas jasa yang sangat besar di bidang sastra, sosial & agama, pada tanggal 16 September 2012, nama Kwee Tek Hoay diresmikan menjadi nama salah satu kawasan terkenal di Jakarta yaitu kawasan Pecinan / Glodok & sekitarnya. Sekarang nama kawasan tersebut telah resmi menjadi kawasan China Town Kwee Tek Hoay yang diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu yaitu Fauzi Bowo.

Kwee Tek Hoay Meninggal

Dalam usia senja, Kwee Tek Hoay mengidap penyakit diabetes melitus (gula), ia mencoba mengatasinya dengan banyak berolahraga jalan kaki setiap pagi dan sering memakan tumbuh-tumbuhan obat yang ditanam di halaman rumahnya.

Pada masa-masa setelah Perang Dunia II, keadaan dan situasi masih kacau sehingga tidak cukup aman bagi kebanyakan orang. Kwee Tek Hoay tetap ingin tinggal di Cicurug karena mengkhawatirkan buku-buku hasil karyanya, percetakan dan perpustakaan akan dihancurkan oleh perampok/perusuh.

Namun ia membiarkan istrinya Oey Hiang Nio hijrah ke Jakarta sebagai tempat yang lebih aman pada saat itu. Jepang sudah kalah namun masih terjadi pemberontakan fisik dimana-mana. Para pemberontak bergerilya masuk ke hutan dan menteror penduduk setempat dengan merampok. Kejadian ini juga menimpa rumah tinggal Kwee Tek Hoay di Cicurug. Ia yang tinggal bersama seorang pembantu laki-laki dan seorang pembantu wanita sebagai tukang masak, ikut dalam ronda kampung bersama dengan penduduk setempat. Kerapkali ia tidak beristirahat dan mengabaikan kesehatannya.

Pada suatu pagi ketika orang-orang desa seperti biasanya mengambil air dari sungai dan melewati rumah Kwee Tek Hoay, seseorang menemukan Kwee Tek Hoay sedang tergeletak di halaman rumah. Pada saat itu ia masih hidup namun seluruh tubuhnya dingin. Diusahakan mencari dokter di Cicurug namun tidak berhasil, akhirnya datang seorang dokter dari Bogor namun nyawa Kwee Tek Hoay tidak tertolong lagi. Kwee Tek Hoay meninggal pada tanggal 4 Juli 1952. Tiada pesan terakhir yang sempat diucapkannya, yang ada hanya sepucuk surat berisi pesan terakhir untuk putri sulung-nya Kwee Yat Nio. Sebagian besar buku-buku yang ditinggalkannya dapat diselamatkan dan dibawa ke Jakarta.

Kwee Tek Hoay dikremasi secara tradisional dengan menggunakan kayu bakar di Krematorium Pluit / Muara Karang, Jakarta, krematorium yang didirikan berdasarkan gagasannya sendiri dengan mendirikan Yayasan Sham San Bumi. Hari itu tanggal 6 Juli 1952 bertepatan dengan hari raya Asadha (Buddhisme), abu jenazahnya dibuang ke laut pada keesokan harinya.

Pandangan Kwee Tek Hoay tentang Tridharma

Sebagai aktivis / umat Tridharma, sudah sepatutnya mengetahui buah pemikiran dan cita-cita Kwee Tek Hoay tentang Tridharma. Dari pemikirannya kewat karya tulis mencerminkan bahwa ia adalah seorang Tridharma sejati. Dalam karya-karyanya, Kwee Tek Hoay begitu banyak berbicara tentang Tridharma / Sam Kauw. Berikut beberapa kutipan dari Kwee Tek Hoay tentang Sam Kauw.

Cita Cita Kwee Tek Hoay di antara nya ialah:

  1. Memberikan pengertian/pengajaran Ajaran Tridharma(Sam Kauw / San Jiao = Buddha, Khong Hu Cu, Tao) agar para umat dapat jadi warga masyarakat yang berguna bagi sesama & lingkungan
  2. Mencegah Kristenisasi di kalangan warga Tionghoa yang pada masa itu dilakukan oleh para misionaris barat yang mendompleng penjajah Portugis, Inggris & Belanda
  3. Memajukan pendidikan bagi generasi muda agar dapat meningkatkan taraf penghidupan.

Berikut beberapa kutipan Kwee Tek Hoay yang menggambarkan cara pikir dan pandangannya terhadap Tridharma.

Kwee Tek Hoay (Sam Kauw Gwat Po Edisi Februari 1939) :
“Itoe Sam Kauw akan mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bagi orang Tionghoea jang leloehornja soedah kenal itoetiga peladjaran sadari riboen taon laloe”

Kwee Tek Hoay (Sam Kauw Gwat Po Edisi Agustus 1936) :
Apatah betoel Sam Kauw Hwe satoe pakoempoelan “Gado gado”?
“Bahoea sabagian besar dari orang jang masih pegang tetep Agama Tionghoa dalam praktijk ada memelok Sam Kauw, kerna ini Tiga Agama sadari banjak abad yang laloe soedah tergaboeng mendjadi satoe dalem batin dan panghidoepan orang Tionghoa.
Kita sendiri anggep tidak djelek kalo satoe Hoed Kauw Hwe meloeloe perhatiken agama Buddha dan satoe Khong Kauw Hwe tida bitjaraken laen dari agama Khong Tjoe…begitu juga satoe To Kauw Hwe perhatiken agama Too saja….

Kwee Tek Hoay (Sam Kauw Gwat Po Edisi Februari 1939) :
Tapi ia orang tida haroes mentjelah pada Sam Kauw Hwe tjoemah lantaran ini perkoempoelan soedah perhatiken sari dari Tiga Agama jang soedah tergabung dalem batin dan panghidoepan Tionghoa.
Sam Kauw Hwe ada pandang seperti soedara dan ingin bekerdja sama sama dengan sasoeatoe pakoempoelan atawa pergerakan jang perhatikan sadja sotoe satoe dari itu Tiga Agama sendirian.
Djoega kita tidak ingin bermoesoehan pada laen laen agama jang bukan Sam Kauw kaloe di laen fihak tida ada disiarken apa apa jang bersifat menjerang atawa merendahkan pada Khong Kauw, Hoed Kauw dan Too Kauw, Dunia ada tjoekoep lebar aken masing masing agama bekerdja dalem kalangannja sendiri”

Kwee Tek Hoay sang permata terpendam, puluhan tahun namanya tidak muncul ke permukaan. Beliau adalah paket komplit bagi kita, sosok yang aktif berorganisasi namun juga praktisi ajaran Tridharma yang taat. Kini tugas kami para penerus & penghayat Tridharma untuk melanjutkan cita cita luhur Kongco Kwee Tek Hoay menggemakan ajaran Tridharma di bumi nusantara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *