“Hari Onde / Tangce”

Oleh : Azmi Abubakar

Selain memperingati Hari Ibu, bertepatan tanggal 22 Desember, kita sebagai bangsa Indonesia terutama bagi orang-orang Tionghoa juga ada Tradisi “Hari Onde” / Tangce. Berbeda dengan kebanyakan hari raya tradisionil Tionghoa lainnya yang berdasarkan penanggalan Imlek, hari Tangce perhitungannya didasarkan pada penanggalan Masehi (Yanglek). Setiap tahun, Tangce jatuh bertepatan tanggal 22 Desember (perkecualian tahun kabisat, Tangce jatuh tanggal pada tanggal 21) Sebelum tanggal 21 Desember. Nyonya-nyonya rumah sudah sibuk membeli ketan, lalu membuat tepung dari ketan itu.

Kemudian tanggal 21, tepung itu dikerjakan, diadoni, dan diberi warna-warna (biasanya putih, merah dan hijau), petangnya dipulung menjadi kue2 bundar berbentuk kelereng, kadang sebesar jempol, tempo-tempo lebih kecil dari kelereng.”Mengapa mesti menunggu sampai petang? Mengapa tidak sedari siang hari?” Jika pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang tua, maka jawabannya “Tidak boleh,” jawab mereka. Mengapa tidak boleh? Ya, memangnya tidak boleh, mesti tunggu sore…. Habis perkara! Merekapun, seperti kebanyakan nyonya-nyonya rumah lainnya, tidak mengetahui sebab-sebabnya. Hanya kebiasaan turun temurun, yang sudah meresap kedalam jiwa, sehingga tak berani dilanggar. Pagi-pagi sekali, tanggal 22 Desember, onde-onde itu sudah selesai dimasak, diberi air gula dalam cangkir kecil-kecil dan dijadikan suguhan upacara sembahyang kepada Pencipta, kepada arwah para leluhur dan kepada toapekong-toapekong yang dipuja dalam rumah….. sisanya (biasanya banyak sekali) dimakan oleh tiap anggota keluarga dengan air panas, kadang dicampur sedikit jahe. Sisa-sisa onde dimakan dengan memperhatikan aturan yang tertentu. Banyaknya onde yang disuguhkan pada tiap-tiap anggota keluarga sama dengan umur masing-masing, misalnya, anak-anak yang berumur 8 tahun mendapat delapan butir, yang 5 tahun mendapat lima butir, orang dewasa yang berumur 21 tahun mendapat 21 butir, begitu serusnya.Tapi ini hanya dalam suguhan yang pertama saja, sesudah itu, kalau masih belum kenyang, boleh makan lagi sekenyangnya…. hehehe kakek berusia 90 tahun pasti tak mampu menghabiskan ondenya.

Onde-onde juga ditempelkan pada tiang pintu dan daun jendela, sehingga air gulanya pada meleleh kebawah… begitulah kebiasaan masa lalu, onde dipersembahkan juga terhadap lima unsur dari alam, yakni logam, kayu, air, api dan tanah. Saat ini kebanyakan orang sudah tidak melakukannya, onde hanya ditaruh di meja sembahyang saja. Tradisi “Hari Onde” tidak seperti masa lalu lagi, dimana ketan yang hendak dijadikan tepung, harus dipilih sebutir demi sebutir, agar tidak tercampur beras, pekerjaan ini memakan waktu lama…. kemudian ditumbuk sampai halus dan diayak melalui ayakan yang paling halus, baru tepung diadoni dan dikerjakan. Saat ini orang sudah tak mau repot-repot lagi, tepung ketan yang sudah siap dikerjakan, dapat dengan mudah dibeli…. Bahkan sudah ada onde yang tinggal dimasak saja. Instan! Budaya luhur yang sarat nilai, bukankah ini seharusnya dilestarikan?

#salampersaudaraanindonesia #museumpustakaperanakantionghoa
Sumber: Majalah Star Weekly, 24 Desember 1955.
Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *