Anugrah Langit melalui seorang Tionghoa Peranakan Indonesia
Bintang Budaya Parama Dharma
Anugrah Langit melalui seorang Tionghoa Peranakan Indonesia
Oleh Djayadi Ruslim
Sebagai satu dari jutaan orang yang mengagumi KTH, adalah kegembiraan yang luar biasa ketika pemerintah memberikan apresiasi atas eksistensi seorang KTH di bumi pertiwi, tumpah darah seorang Kwee Tek Hoay.
Sebagai anak Sam Kauw, tahun 2000-an, saya pernah merasa sangat mengenal KTH melalui sedikit dari banyak buku KTH yang pernah saya baca. Buku “100 tahun Kwee Tek Hoay: dari penjaja tekstil sampai ke pendekar pena” yang disunting Ibu Myra Sidharta terbitan 1989, adalah buku yang sering kali jadi referensi untuk mengenal lebih dekat seorang Kwee Tek Hoay.
Tetapi ketika menyiapkan tulisan ini, mencari sumber-sumber melalui dunia maya (internet), saya temukan begitu banyak tulisan dengan kata kunci “Kwee Tek Hoay”. Berbagai latar belakang penulis dan tokoh mengulas KTH dari berbagai sisi. Kemudian saya merasa bahwa sebagai anak Sam Kauw, kecintaan saya pada KTH mungkin hanya sekedar retorika.
Kalau mau berpikir positip, saya merasa beruntung, bahwa sekarang lebih banyak sumber yang bisa dimanfaatkan untuk memahami seorang KTH. Walaupun demikian perlu disadari bahwa sumber-sumber tersebut berangkat dari latar belakang, disiplin ilmu dan kepentingan yang sangat beragam.
Sikap politik KTH dengan latar belakang ketertarikannya pada ajaran Khong Hu Cu, menggambarkan sikap politik yang matang, kalau tidak mau disebut sikap dewasa. Bisa saja sebagian orang mengatakan bahwa KTH cuma cari aman, beliau menjaga kaum Tionghoa Peranakan agar dapat hidup dengan tentram dan bekerja dengan tenang di bumi pertiwi . Melalui tulisannya yang banyak dibaca oleh kalangan Tionghoa, jelas merupakan kontribusi yang tidak kecil untuk memberikan arahan dan wawasan politik kebangsaan Indonesia bagi masyarakat Tionghoa. Secara intelek Kwee berusaha mengarahkan masyarakat Tionghoa Peranakan untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan kaum nasionalis Indonesia.
Terhadap perubahan jaman, seorang KTH tidak bersifat kolot seperti kebanyakan orang peranakan pada jamannya. KTH sangat menganjurkan perempuan untuk banyak belajar dan membaca, rasanya beliau sangat menyadari bahwa anak-anak dan generasi muda akan tumbuh dari sentuhan dan pemikiran-pemikiran kaum perempuan. Apabila perempuan mendapat kesempatan untuk belajar lebih banyak maka besar harapan untuk mendapatkan generasi mendatang yang lebih baik. Westernisasi bukan bertingkah laku seperti orang barat, tetapi mempelajari banyak teknologi dan semangat belajar dari orang-orang barat. Nilai nilai ketimuran tetap dipertahankan agar orang-orang Tionghoa Peranakan tidak kehilangan jati dirinya.
Dalam sebuah karyanya KTH menulis, “Pemandangan yang indah saat matahari sedang surut. Keadaan alam juga turut berubah menjadi sejuk, burung-burung dan binatang-binatang mencari sarangnya untuk berlindung. Manusia pun berhenti bekerja dan pulang ke rumah untuk beristirahat sambil menunggu santapan malam dan saat pergi tidur. Keadaan alam ini seharusnya dapat dibandingkan dengan usia manusia. Apabila senja hari tiba, manusia pun seharusnya bertambah tenang, mulia dan mengagumkan. Dalam sikapnya ia harus bertambah pengertian, pengetahuan, kecerdasan dan kebijaksanaan.”
Kwee Tek Hoay dengan jelas mengatakan bahwa apabila pada usia senja tidak bisa bertambah pengertian, pengetahuan, kecerdasan dan kebijaksanaan, maka hidupnya akan susah dan menderita.
Pada bulan Mei 1934 KTH mendirikan Sam Kauw Hwee (SKH) atau Gabungan Tiga Agama untuk menegaskan dan menghidupkan kembali Agama Tionghoa di Hindia Belanda dan merangsang kembali kebangkitan kebudayaan Tionghoa. SKH merupakan respons terhadap pertumbunhan Agama Kristen pada orang Tionghoa di Indonesia pada saat itu. Respon ini merupakan suatu tindak lanjut dari usaha mempertahankan Agama Tionghoa yang dimulai dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tahun 1900.
Kwee Tek Hoay melihat bahwa Kristenisasi orang Tionghoa di Indonesia akan mengancam kelestarian akar budaya Tionghoa, dengan tidak diperbolehkannya pemujaan terhadap abu orang tua dan leluhur, serta tradisi keagamaan lainnya. Beberapa konsep penting yang dikemukakan oleh Sam Kauw Hwee telah disarankan oleh THHK sebelumnya dan kemudian diperbaiki oleh Kong Kauw Hwee (Perkumpulan Agama Khong Hu Cu).
Tujuan Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee untuk menciptakan suatu gerakan keagamaan yang mempunyai dasar yang luas untuk mengimbangi daya tarik agama Kristen dan sekularisme yang semakin kuat.
Pada saat itu telah didatangkan ke Indonesia misionaris-misionaris Kristen dari Tiongkok, yang menyampaikan ceramah-ceramahnya dalam bahasa Tionghoa. Hal ini sangat strategis dan membuat banyak orang Tionghoa baik peranakan maupun totok di Indonesia tertarik untuk masuk Agama Kristen.
Sebagai seorang intelektual pada jamannya, Kwee Tek Hoay tidak hanya melihat Agama Kristen sebagai ancaman terhadap kebudayaan Tionghoa, namun secara jujur ia mengakui bahwa cara penyampaian yang digunakan oleh misionaris Kristen memang menarik. Maka Iapun merintis diadakannya ceramah-ceramah Sam Kauw di kelenteng-kelenteng, sebelumnya orang datang ke kelenteng hanya untuk sembahyang dan pulang. Kwee Tek Hoay telah merubah kelenteng dari hanya sekedar tempat sembahyang menjadi tempat dimana umat bisa mendengar ceramah serta diskusi tentang ajaran Sam Kauw (Buddha, Khong Hu Cu dan Lo Cu). Beliau melanjutkan kegiatan-kegiatan ceramah ini hingga menjangkau hampir seluruh pulau Jawa
Sam Kauw Hwee memandang agama Tionghoa sebagai sintesa dari tiga agama; Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme. Kwee Tek Hoay telah menyadari bahwa angkatan muda banyak yang tidak memahami agama leluhurnya. Beliau mengatakan bahwa kegagalan untuk menarik angkatan muda berarti bahwa banyak di antara mereka telah masuk Kristen. Itu bukan karena mereka percaya, bukan pula karena agama itu lebih baik dari pada agama lain, tetapi karena kebodohan mereka tentang doktrin-doktrin Agama Tionghoa yang mungkin sama benarnya. Pada tahun 20-an, Kwee Tek Hoay menulis bahwa sekali lagi Agama Tionghoa dilupakan, kehilangan identitas nasional pada sejumlah besar kaum peranakan hanya tinggal waktu saja.
Banyak pertanyaan yang tersisa, untuk ditanyakan langsung kepada Kongco Kwee Tek Hoay, salah satunya mungkin adalah “ Apakah yang sekarang kita pahami tentang Tridharma dan perjuangan Tridharma sesuai dengan pemahaman dan perjuangan Sam Kauw Hwee ?
Dan sekarang kita melihat bahwa karya-karya dan peninggalan KTH bangkit dengan usahanya sendiri mengangkat nama sang pelopor hingga mendapat apresiasi dalam bentuk :” Bintang Budaya Parama Dharma “.
Inilah sebagian dari begitu banyak karya-karya KTH:
Drama
- Korbannja Kong Ek (1926)
- Plesiran hari Minggoe (1927)
- Korbannya Yi Yung Toan (1928)
- The ordeal of general Chiang Kai Shek (1929)
- Mait Hidoep (1931)
- Pentjoeri (1935)
- Bingkisan taoen baroe (1935)
- Barang perhiasan jang paling berharga (1936)
- Bidji Lada (1936)
Novel
- Boenga Roos dari Tjikembang (1927) Pernah dibuatkan film dua kali pada tahun 1931 oleh Wong Brothers, dan 1976 oleh Fred Young.
- Drama dari Krakatau (1928)
- Drama di Boven Digoel (1938).
- Nonton Capgome (1930)
- Zonder Lentera (1930)
- Penghidoepannja satoe sri panggung (1931)
- Drama dari Merapi (1931)
- Soemangetnja boenga tjempaka (1932)
- Pendekar dari Chapei (1932)
- Bajangan dari Kehidoepan jang laloe (1932) diterbitkan dalam majalah Moestika Romans, belum dibukukan.
- Pengalamannja satoe boenga anjelir (1938)
- Asepnja Hio dan kajoe garoe (1940)
- Lelakonnja boekoe (1940)
- Itoe nona jang bertopeng biroe (1942)
Keagamaan
- Buddha Gautama (1931-1933)
- Sembahjang dan meditatie (1932)
- Nabi Khong Hoe Tjoe / Confucius (1934)
- Omong-omong tentang agama Budha (1935)
- Tao Teh King (1938)
Sosial Politik
- Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa yang Modern di Indonesia (1936-1937)diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lea Williams, The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia (Southeast Asia Program, Cornell University, 1969