Sedikit tentang “Abu”, “Piara Abu”, “Meja Abu”, “Rumah Abu”, dan “Rumah/Ruang Penitipan Abu Jenazah” – Oleh: David Kwa
Sedikit tentang “Abu”, “Piara Abu”, “Meja Abu”, “Rumah Abu”, dan “Rumah/Ruang Penitipan Abu Jenazah”
Oleh: David Kwa
Yang disebut “abu” mula-mula adalah “abu dapur” yang ditempatkan di sebuah tempat menancapkan “hio” 香(“hiolou” atau “hionn-lôo” 香爐) sehingga akhirnya bercampur dengan abu dari “hio” yang terbakar. Nah “abu” inilah yang diletakkan di “meja abu” untuk selanjutnya disembahyangi dalam upacara penghormatan kepada orangtua dan leluhur yang sudah tiada ( = “piara abu”). Di rumah-rumah Tionghoa tradisional dan di rumah-rumah orang Tionghoa yang menjunjung tinggi “penghormatan leluhur” “meja abu” dengan “hiolou” khusus dari timah berisi “abu” di atasnya lazim ditemukan. Beberapa keluarga Peranakan tua di Jakarta, seperti Keluarga Souw 蘇氏 dan Tan 陳氏, dan Surabaya, seperti Keluarga-keluarga Han 韓氏, Tjoa 蔡氏 dan The鄭氏, bahkan masih menyimpan “sinci” 神主 atau “sîn-tsí-pâi-á” 神主牌仔 (‘papan arwah’) leluhur mereka dari beberapa generasi, selain “hiolou” mereka, tapi kebanyakan orang hanya mempunyai “hiolou” leluhur yang sangat dihormati mewakili leluhur.
Jadi sebenarnya istilah “rumah abu” untuk menyebut ‘rumah/ruang tempat penitipan abu jenazah’ TIDAK TEPAT, sebab yang disebut “rumah abu” sebenarnya adalah “rumah” perkumpulan orang-orang yang bermarga sama alias berleluhur sama (祠堂 atau ancestral hall/house), sehingga di Jakarta, tidak jauh dari Stasiun Kota, ada “Rumah Abu” Marga Nio/Liong 梁氏宗祠, “Rumah Abu” Marga Thio/Cong 張氏宗祠 dll―daftar lengkapnya bisa diminta ke Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI 印尼印華百家姓協會) di Jl. Bandengan Selatan No 43, Jakarta. Disebut “rumah abu”, karena secara tradisional orang Tionghoa TIDAK mengkremasi jenazah orang yang sudah meninggal, tapi menguburnya. Di “rumah abu” “abu-abu” dari orang yang berleluhur sama (satu marga) diletakkan pada suatu tempat yang sama.
Sedangkan yang disebut “rumah penitipan abu jenazah” adalah “rumah” atau “ruang” tempat menitipkan abu jenazah yang dikremasi, seperti yang didapati di dekat Krematorium Cilincing. Beberapa vihara juga menyediakan “ruang penitipan abu jenazah”. Menurut kepercayaan, abu jenazah dari orang yang dikremasi tidak boleh disimpan di rumah, sebab “yin” (abu jenazah) tidak boleh berada di tempat yang sama dengan “yang” (orang hidup), sebab dikhawatirkan orang hidup “akan terganggu”. Biasanya abu jenazah dilarung ke laut atau dititipkan ke “rumah/ruang penitipan abu jenazah”.
Istilah “abu” untuk “leluhur” ternyata juga dikenal di kalangan Peranakan di Malaysia. Mereka mengenal istilah “semayang abu” untuk “sembahyang leluhur” serta “semayang datuk” untuk “sembahyang dewa-dewa”.
Setahu owe, di Kelenteng Boen Tek Bio 文德廟, Pasar Lama, Tangerang, tidak ada “rumah abu” maupun “rumah penitipan abu jenazah”, tapi “meja abu”di Tangerang masih banyak yang memilikinya dan “penghormatan leluhur” bukan hal yang langka. Orang Barat dari golongan “sana” kan menyebutnya “ancestor worship”, bukan “ancestor veneration”, padahal orang Tionghoa TIDAK memuja leluhurnya seperti dituduhkan, tapi MENGHORMATI dengan cara orang Tionghoa sendiri, yang berbeda dari orang Barat serta orang non-Tionghoa lainnya.
Pada rumah tradisional orang Tionghoa yang cukup “berada”, selain “hiolou” pada gambar di atas, didapati juga “sinci” 神主 yakni ‘papan arwah berisi nama+nama kecil, gelar, tanggal lahir, tanggal meninggal, anak, letak makamnya, arah hadap makamnya menurut hongsui, dll. keterangan yang dianggap perlu’. “Sinci” ini ternyata berguna pada penyusunan silsilah.
Selain itu, “sinci” tersebut diberi “pelindung” yang disebut “kham 龕”, yakni sebuah “rumah-rumahan” berukir halus, di mana “sinci” atau “hiolou” diletakkan.