Pendidikan Yang Terganggu
(Oleh : Greysia Susilo S.E., S.Sn., M.Hum.)
“Dek…. Jemuran diangkat dulu itu. Jangan onlen terus kau….!”
“Yaelah mak…. Ini lagi belajar sama guru lewat Zoom. Aku ga lagi main maakkk…!”
Penggalan cerita di atas menjadi hal yang sering terdengar dengan berbagai versinya di sebagian rumah di Indonesia. Dengan adanya pandemi Covid 19 yang mulai merebak pada pertengahan tahun 2019, dan mulai mewabah ke seluruh dunia di awal tahun 2020, maka Indonesia ikut serta dalam masalah global ini. Sejak pertengahan Maret 2020 satu persatu wilayah Indonesia melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam jangka waktu yang sudah diperpanjang hingga bulan Juni. Virus Covid 19 yang memiliki karakteristik ganas dan menyebar melalui droplets (titik ludah) menyebabkan semua orang harus mematuhi protokol kebersihan diri dan kebersihan lingkungan, serta menahan diri untuk tidak sering-sering bepergian jika tidak perlu.
Dalam PSBB maka hampir setiap fasilitas publik dan fasilitas masyarakat ditutup untuk mencegah kumpulan-kumpulan orang yang dapat menyebarkan virus ke tempat lain. Dimulai dengan ditutupnya akses ke taman publik, museum, taman-taman hiburan; kemudian disusul dengan mall dan pusat-pusat perbelanjaan, termasuk beberapa pasar sekunder; diakhiri dengan ditutupnya sekolah, pusat belajar, universitas, dan rumah-rumah makan.
Beberapa anggota keluarga yang lebih beruntung, dapat bekerja dengan nyaman di rumah; dengan mengandalkan teknologi multimedia, internet, dan digital. Beberapa masih berkewajiban untuk bekerja di luar rumah dengan memperhatikan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Sisanya, kurang begitu beruntung sehingga terpaksa harus keluar dari tempat kerjanya atau dirumahkan tanpa upah. Beban rumah tangga juga bertambah dengan ‘dirumahkan’-nya anak-anak dengan belajar di rumah. 24 jam bersama anak, luar biasa!
Saya bisa membayangkan betapa senangnya anak-anak dan orang tua pada awalnya karena bisa berkumpul di rumah serasa liburan. Tetapi layaknya liburan yang kepanjangan di setiap bulan Juni Juli tiap tahunnya, setelah 4 minggu bersama (bersama belanja, bersama jalan-jalan, bersama bermain – bersama menghabiskan uang) maka banyak orang tua yang bernapas lega ketika anak mulai memasuki tahun ajaran baru. Ibu-ibu mulai bingung setelah dikontak oleh sekolah untuk membantu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar jarak jauh melalui sarana digital. Beberapa yang masih paham teknologi dengan santai mengkoleksi aplikasi-aplikasi pendukung seperti Google Meet, Microsoft Teams, Zoom, WA call, VooV, Skype, Webex, dll. Beberapa yang tidak paham mulai mencari tahu, bahkan meminta guru agar mengajari cara-caranya.
Komunikasi yang biasanya dalam bentuk langsung dan terukur dengan jelas waktunya, tetiba menjadi serba tanggung, serba salah. Jika waktu sekolah dipatuhi dan semuanya menggunakan digital, maka biaya internet pasti akan bertambah. Belum lagi tidak semua wilayah dan rumah memiliki fasilitas internet yang stabil dan terjangkau. Ditambah pula dengan lingkungan rumah yang serba nyaman untuk beristirahat tidak dapat dibandingkan dengan kondisi lingkungan sekolah yang kondusif mendukung suasana belajar sehingga pada akhirnya menurunkan konsentrasi anak didik. Masalah gagap teknologi dan kendala teknis setiap pertemuan online terutama pada anak didik yang lebih kecil ikut memperuncing masalah.
Sekolah dengan guru yang masih fokus mengejar target kuantitas mata pelajaran tanpa memperdulikan kualitas pemahaman anak didik akan memaksakan begitu banyak beban kepada anak didik tanpa dapat membantu prosesnya; prosesnya diserahkan kepada orang tua yang selama ini tidak memahami dan mengikuti prosesnya. Orang tua makin stress. Bahkan ada orang tua yang tidak begitu memperdulikan proses belajar anak, dan diserahkan sepenuhnya pada sekolah dengan tuntutan kualitas. “Saya membayar mahal kepada mereka, buktikan dong kualitas kalian,” merupakan hubungan klien-penjual yang sering diaplikasikan orang tua kepada sekolah, bukan sebagai lingkungan dan komunitas sosial yang membantu orang tua dalam meng-upgrade pengetahuan anak. Sekolah pun serba salah.
Moda pendidikan selama ini dibentuk dalam proses yang disebut offline yang artinya tidak menggunakan peralatan digital. Moda pendidikan ini dibagi dua: synchronous, yang berarti sinkron dan asynchronous yang artinya tidak sinkron. Moda pengajaran dalam bentuk offline dan synchronous berupa tatap muka contohnya guru ketemu murid, murid belajar dari guru, langsung di sekolah. Tidak masuk sekolah, tidak mengikuti kelas, artinya ketinggalan pelajaran; diskusi dengan guru tidak dapat bisa diulang kecuali meminta sesi remedial. Hal ini kemudian dilengkapi dengan moda offline dan asynchronous berupa pemberian tugas yang dapat dikerjakan kapanpun dimanapun selama jangka waktu tertentu.
Pada masa PSBB ini moda pendidikan menjadi online, baik yang dilakukan dengan synchronous maupun asynchronous. Tatap muka online dan pemberian tugas melalui foto atau file yang diunduh dan dikirim melalui media elektronik merupakan salah satu pilihan. Memperbanyak tatap muka semirip mungkin dengan sekolah tidak memiliki keuntungan seperti yang sudah diceritakan diatas. Memperbanyak tugas teknis dalam bentuk PR dan laporan tulisan juga terkadang membutuhkan bimbingan orang dewasa, yang gagal diberikan oleh orang tua.
Maka harus ada titik tengah dalam masa khusus ini untuk mempertemukan kebutuhan pendidikan anak, guru dan sekolah, serta orang tua. Semua pihak harus bekerja sama dan memiliki kesadaran bahwa keadaan tidaklah sama. Pihak sekolah dan guru harus mencari akal agar tugas-tugas yang dikerjakan dapat aplikatif langsung membantu keadaan rumah sehari-hari, tidak terfokus pada hafalan dan teori. Proses mengajar harus dibagi dua, antara tatap muka langsung dengan audio video file yang dapat diunduh dan ditonton kapan saja dimana saja dalam jangka waktu yang ditentukan.Orang tua harus berperan lebih daripada sekedar operator teknis teknologi digital. Mereka dapat menemani proses belajar anak-anaknya.
Sebenarnya ini adalah kesempatan besar agar orang tua memahami interaksi maupun konten belajar antara guru dengan anak didik, sehingga orang tua dapat memahami dan membantu proses pendidikan ini. Berhentilah mengerjakan tugas anak, tetapi ikutlah berkontribusi jika dibutuhkan. Tingkatkan komunikasi yang baik dengan mitra pendidikan orang tua, yaitu guru dan sekolah. Mereka tidak layak mendapatkan komplain tentang cara mengajar – karena kondisi inipun baru bagi mereka. Beruntunglah keluarga yang memiliki guru kreatif yang dapat mengurangi kebosanan anak baik dalam tatap muka maupun pada jenis tugas yang diberikan. Bersyukurlah keluarga yang memiliki guru old style yang mungkin sudah tua tapi tetap semangat menularkan pengetahuan kepada anak didiknya dengan satu-satunya cara yang mereka pahami dengan segala kegagapan teknologinya. Orang tua memiliki peluang untuk menambahkan semangat dan praktek-praktek aplikatif sesudah pelajaran.
Pada akhirnya nanti, kita menghadapi era New Normal, dimana anak-anak di daerah yang masih banyak kemungkinan terpapar virus akan memiliki perubahan gaya didik yang mengkombinasikan online dan offline. Orang tua dan sekolah sebagai mitra didik membutuhkan kerja sama dan komunikasi yang baik dalam mendampingi anak-anak menuju kesuksesan belajar.