LISTENING is PATH to CONCENTRATION – Oleh : Greysia Susilo Junus
LISTENING is PATH to CONCENTRATION
Oleh : Greysia Susilo Junus
“Mama sudah panggil kamu berkali-kali loh…..”
“tadi emang ga denger instruksi Mami? Kan barusan dikasih taunya…”
Pernahkah orangtua mengalami kondisi harus berkata demikian pada anak?
Pernah merasa tidak habis pikir karena perkataan lisan yang baru dikeluarkan, sudah menarik perhatian anak, kelihatan dipahami, tetapi ternyata tidak?
Sebagian besar orang tua anak dibawah 10 tahun (karena anak tertua saya belum 10 tahun, jadi tidak bisa bicara melebihi umurnya) pasti mengalami keadaan dimana kita yakin suara kita sudah cukup tegas, penjelasan sudah cukup jelas tetapi ternyata mereka tidak paham, dan bahkan kadang tidak didengar. Apakah ada masalah di telinga mereka, atau ini wajar bagi usia pre-teen? atau… ?
Beberapa saat saya renungkan masalah yang tengah saya hadapi ini (pengakuan). Suatu hari saya melihat Quote di laman facebook teman saya, Ibu Ratna Hayati, yang mengutip ringkasan Charlotte Mason dari grup FB Komunitas Charlotte Mason Indonesia. “Meski anak berbakat dan genius, jika pikirannya terus meloncat ke sana kemari tanpa mampu ia kendalikan, akan sulit menjadi ahli dalam bidang apapun. Kunci sukses para profesional adalah kemampuan berkonsentrasi secara intens pada pekerjaan yang tengah mereka tangani, sampai tuntas.
Sebetulnya semua orang berkesempatan untuk sampai ke tingkat itu, asalkan inteleknya mendapatkan gemblengan yang cukup – Dan adalah tugas orang tua untuk memupuk kemampuan ini dalam diri anak-anaknya sejak dini – VOL. 5 Formation of character. Saya terkejut; inilah jawaban yang saya cari. KONSENTRASI – HARUS DILATIH. Walaupun kelihatannya Quote tersebut tidak berhubungan langsung dengan masalah pendengaran anak saya, tetapi saya akhirnya memahami metode CM yang mendidik anak dimulai dengan metode bercerita, dan kemudian timbal baliknya adalah meminta anak menarasikan cerita yang barusan mereka dengar itu selengkapnya. Dengan bercerita, maka satu-satunya Sumber informasi / Komunikasi saat itu adalah audio – bahasa lisan. Anak dilatih untuk mendengar dengan baik, dan kemudian mengolah informasinya di dalam otak dan kemudian mengeluarkannya secara utuh. Latihan bercerita – dan kemudian menarasikan, membuat saya dapat mengamati hal-hal yang sudah terserap, detail apa yang belum diserap, seberapa efektifnya anak dalam mengolah data, kemudian menjadi output yang sesuai dengan kebutuhan. Walaupun anak sudah bisa membaca dengan mandiri, kegiatan “listening” ini sangat diperlukan hingga anak berusia pra remaja – hingga mereka dapat menceritakan kembali apa yang barusan ia dengar. Sewaktu kita bersekolah, seingat saya kegiatan membaca bersama atau individual keras-keras hanya digunakan untuk berlatih pengucapan, dan berhenti di kelas 1 SD, tanpa usaha sama sekali berlatih pendengaran. Padahal dalam kurikulum Bahasa Inggris dikenal ilmu ini, sebagai salah satu kegiatan wajib mempelajari bahasa.
Alasan lain adalah bahwa sebagian anak memiliki gaya belajar “auditori” yang menggunakan kepekaan mendengarkan, tanpa harus melihat objek atau subjek belajar. Suami saya, tanpa harus mencatat karena “buang-buang tenaga” , dan terlihat mengantuk, selalu berhasil mencetak prestasi sekolah maupun kuliahnya dengan satu modal – mendengarkan penuh guru-gurunya. Kids jaman Now yang dikelilingi oleh k-ebisingan audiovisual – gadget, TV, musik di Mall, medsos, sinetron, drakor – akan semakin sulit melatih kepekaan pendengaran dan kemampuan mengolah noise tersebut hingga dapat berkonsentrasi untuk satu tujuan. Ada beberapa tahap ‘mendengar ‘. Pertama, mendengar secara pasif . Kegiatan mendengar ‘White noise’, kebisingan yang ada di sekitar tanpa mungkin dihindari, sehingga bentuk penerimaannya di otak menjadi otomatis dan normatif. Pasrah. Tahap berikutnya adalah mendengar dengan menyaring kebisingan sekitar. Biasanya dengan memperbesar volume suara yang ingin didengar, atau menggunakan headphone, atau dengan ‘membaca’ bibir orang yang sedang berbicara. Mengerahkan telinga dan terutama -mata- anda untuk memahami lawan bicara. Skill ini digunakan sebatas kesopanan, etika, dan keharusan bereaksi. Kita mungkin tidak 100% paham apa yang dikemukakan, kita mendengar agar dapat memberikan jawaban normatif -ya atau tidak- dengan tepat.
Bahaya kan, jika kita ternyata tersenyum dan mengangguk ketika lawan bicara sedang bercerita anjingnya mati ketabrak fortuner ? Tahap ketiga adalah mendengarkan dengan telinga dan hati. Disini otak dan hati kita turut aktif menyerap Informasi sehingga bukan hanya bahasa tubuh simpatik yang kita produksi, tetapi juga feedback, ulasan. diskusi, atau bahkan solusi. Disini mendengarkan menjadi bagian yang sangat aktif, ajakan direspon positif, instruksi orangtua dikerjakan dengan benar dan sigap. Mendengar dengan hati adalah keahlian yang sering terlupa diajarkan oleh orangtua masa kini karena prosesnya butuh konsistensi , latihan, dan kesabaran.
Lewat latihan bercerita dan menceritakan kembali, saya berharap telinga-telinga buah hati saya yang saya keluhkan selama ini, menjadi penolong nantinya dalam bekerjasama menjalani kehidupan kami. oleh karena itu, yang Maha kuasa menganugerahkan dua telinga dan satu mulut, agar kamu lebih rajin mendengar daripada berbicara . -Asal Quote-