Klenteng Cu An Kiong Lasem Kokoh Walau Telah Berusia Ratusan Tahun
Dibangun dengan sentuhan seni tinggi, Klenteng Cu An Kiong tampak kokoh walau telah berusia ratusan tahun. Tak ada catatan pasti kapan klenteng tertua di Lasem, Rembang, Jawa Tengah itu dibangun. Penjarahan oleh tentara Belanda pada masa penjajahan diyakini turut menghilangkan bukti sejarah tersebut.
Namun, menurut cerita bio kong (penjaga klenteng) di Klenteng Cu An Kiong, Irawan, 49 tahun, klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16 oleh orang-orang Cina yang berlabuh di Lasem. Menurutnya, untuk material bangunan tidak menggunakan kayu pada kapal, melainkan kayu jati yang kala itu banyak tumbuh di Lasem.
Tak ada yang berubah dari bangunan klenteng tua ini. Hanya kini terdapat bangunan tambahan seperti ruang depan dan bangunan lain di kiri dan kanan klenteng sebagai pelengkap bangunan. Tercatat renovasi dilakukan sekali pada tahun 1838 untuk meninggikan lantai klenteng karena banjir sering melanda kala itu. Maklum klenteng itu berdiri persis di depan sungai Lasem.
Memasuki ruang tengah klenteng, pengunjung akan disambut dua buah kayu jati besar sebagai penyangga bangunan utama klenteng. Kayu jati ini sejak awal didirikannya klenteng ini belum pernah diganti. Hanya sesekali dilakukan perawatan secara berkala. Kini walau masih terlihat kokoh menyangga, sesugguhnya di beberapa bagian kayu mulai lapuk dimakan waktu.
Menurut pengurus klenteng Cu An Kiong, Gandor Sugiharto Santoso, dulu Lasem merupakan hutan jati yang sangat lebat. Orang Tionghoa-lah yang pertama kali membuka desa tempat berdirinya klenteng ini. Lalu penduduk mulai ramai tinggal di situ untuk berdagang hingga akhirnya Belanda datang menjajah.
Sebagai tanda sudah berbaurnya antara masyarakat Tionghoa dan pribumi. Setiap hari ulang Thian Siang Seng, yang juga jatuh sebagai hari ulang tahun klenteng, yakni pada tanggal 23 bulan 3 penanggalan Cina, klenteng akan merayakan sejumlah pergelaran wayang kulit, klonengan dan gamelan. “Selama saya masih hidup, wayang dan gamelan masih akan dimainkan di klenteng,” ucap Gandor.
Menurut pria kelahiran November 1945 itu, klenteng ini dibangun oleh orang Tionghoa yang pertama kali mendarat di Lasem. Karena telah diberikan keselamatan selama berada di lautan, maka dengan senang hati mereka membangun klenteng sebagai tempat pemujaan Thian Siang Seng Bo atau Dewi Samudera.
“Dari sejumlah pengurus museum Indonesia yang pernah ke Den Hag, Belanda, diketahui kalau klenteng ini dibangun pada tahun 1477 Masehi,” kata dia. Orang-orang museum itu, kata dia, mengatakan bahwa catatan tentang klenteng di Jawa cukup lengkap di museum Den Hag tersebut.
Ia meyakini catatan klenteng itu dicuri oleh pasukan Belanda yang dulu datang menjarah klenteng pada masa penjajahan. “Tak dipungkiri, karena dulu kami juga musuh Belanda,” ujar Gondar.
Tak hanya pada masa penjajahan Belanda klenteng Cu An Kiong diusik. Pada saat Jepang berkuasa pun klenteng juga diusik keberadaannya. Dulu, menurut Gondar, sungai di depan klenteng sangat luas dan dalam. Banyak rumah penduduk etnis Tionghoa di sepanjang aliran sungai itu. Namun, demi kepentingan jalan bagi kebutuhan pengangkut kayu tentara Jepang, akhirnya banyak rumah warga yang dihancurkan dan akses ke klenteng dipenuhi kayu-kayu.
Kini klenteng itu tetap berdiri di tengah masyarakat yang heterogen. Sebelah barat tak jauh dari klenteng terdengar riuhnya bunyi klakson dari truk tronton yang melewati jalan Pantura. Klenteng Cu An Kiong menjadi sebuah bukti sejarah bahwa masyarakat Tionghoa dapat berbaur dan melebur bersama budaya dan masyarakat Jawa.
Sumber: https://travel.tempo.co/read/666183/klenteng-cu-an-kiong-lasem-menyimpan-seribu-sejarah/full&view=ok