Kampung Kapasan Surabaya – Menikmati Aroma Tiongkok Kuno di Surabaya
Kampung Kapasan Jaman Dahulu
Kalau anda ingin menikmati aroma Tiongkok kuno di Surabaya, mampirlah kampung Kapasan. Kampung ini serangkai dengan kawasan Kembang Jepun yang tersohor itu. Kampung yang 80 persen penduduknya berdarah Tionghoa ini tidak sekadar menghantarkan kita serasa di Hongkong, namun Kapasan telah melegenda dari sekadar sebuah kampung. Sarat kisah heroik dan pemandangan unik.
Namun sayang sekali kampung ini sekarang sepi setiap siang hari, hanya ada orang-orang Tionghoa jompo yang kongkow-kongkow di warung-warung pojok kampung. Banyak bangunan rumah bandar yang masih berdiri, gang-gang sempit, di belakang kuli kuno tetap bertahan.
Padahal ratusan tahun silam kampung Kapasan ini terkenal begitu herois. Para penduduk China perantauan yang tinggal di tempat ini bukan golongan China pedagang. Cerita kehabatan Kungfu kapasan dan jiwa nasionalisme warganya yang dikenal dengan sebutan ‘Buaya Kapasan’ menjadikan kawasan ini bukan seperti pecinan di tempat lain.
Di Ruas Jalan Kapasan belakangan dikenal sebagai kawasan grosir kain yang paling tersohor di Indonesia Timur. Namun beberapa landmark yang tidak boleh dilewatkan dikan menyusuri jalan ini. Klenteng Boen Bio, Bekas Rumah Kaptain China yang menjadi Hotel Ganefo dan bekas Sectie V politie van Kapasan Soerabaia, yang sekarang menjadi markas Polresta Surabaya Timur.
Dari Bion Bio inilah eksotisme Pecinan Kapasan masih bisa dinikmati. Silakan masuk di kampung di balik kelenteng ini. Kalau anda mujur akan ditemukan sekelompok pemuda bermain kungfu dan barongsai. Jenis kesenian dan olahraga yang haram dipertontonkan zaman Orde Baru.
Guru kungfu yang paling tersohor di kampung ini adalah Doni Jung. Saya pernah bertemu dia saat berjualan barang antik di Jl Kembang Jepun. Jung sebenarnya bukan asli warga Kapasan. Dia adalah peranakan Tionghoa yang nenak moyangnya ‘terdampar’ di Solokuro, Lamongan. Desa gersang di pesisir utara Jatim yang tersohor karena pelaku bom bali Amrozi Cs tinggal disini.
Jung memiliki orang tua yang berdagang barang kelontong. Lelaki 60 tahun ini kemudian memperistri Meme asal Kapasan yang kemudian tinggalah di kampung lawas ini. Kesehariannya dia mengajar kungfu tradisional, dan berlatih barongsai, selain berburu guci China di laut Jawa. “Dulu saat Orde Baru latihannya di dalam klenteng sekarang bebas di lapangan,” kata Jung.
Hanya Jung satu satunya tokoh Kapasan yang tersisa mewarisi julukan Kampung Kungfu. Konon sebelum era jung, ada puluhan pendekar kungfu yang disegani lahir dari Kapasan di tengah gang gang sempit belakng Boen Bio.
Zaman Belanda Kapasan bahkan sulit ditundukkan. Politik pecah belah dengan menjadikan Kapasan sebagai Chinesche Kamp justru membuat kampung ini penuh warna perlawanan.
Tidak hanya pendekar kungfu, Kapasan abad 17 hingga awal-awal kemerdekaan menjadi terkenal karena menjadi sumbu gerakan peranakan Tionghoa terbesar di Hindia Belanda. Marilah ikuti kisah saya ini. Kemarin saya menemukan catatan jejak seorang wartawan pemberani era 1918-1945. dari tengah kampung ini.
Di rak perpustakaan koleksi koran lawas Medayu Agung ditemukan koran Sin Tipt Po muncul nama Liem Koen Hian (1896 – 1952), di buku Chinese in Indonesia tulisan Hatta nama Liem muncul lagi. sejumlah biografinya menyebutkan Liem lahir dan besar di Kapasan.
Liem Koen Hian, adalah seorang jurnalis sekaligus motor nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia yang raib dalam ingatan sejarah. Meskipun tidak ada di buku sejarah resmi sekolahan, namun percayalah, dia begitu berjasa pada negeri ini. Di awal abad 20 silam, Liem menjadi lakon nasionalisme warga keturunan Tionghoa dari rumahnya di Kapasan.
“Orang-orang kampung ini pada jaman Belanda dulu dikenal dengan julukan Buaya Kapasan,” kata Ketua Yayasan Medayu Agung, Oei Hiem Hwie, kemarin. Buaya maknanya kumpulan orang-orang China yang sulit diatur Belanda. Jago kungfu, pemain barongsai. Tapi kritis dan pemberotak dengan caranya sendiri.
Aktivis Klenteng Boen Bio, Bingki Irawan, mengaku terkesan dengan sejarah Kampung Kapasan. Dia mengatakan sejak lama Boen Bio sebagai sentra gerakan politik dan kemanusiaan. “Orang Tionghoa Kapasan pernah memboikot perdagangan dengan orang Belanda. Tentu bisa dibayangkan Bagaimana orang Belanda kelimpungan memenuhi kebutuhan logistik masa itu,” kata anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia ini kepada saya.
Begitu bahayanya warga Kapasan sehingga Belanda harus menempatkan Kaptain China (Pimpinan distrik Pecinan yang pro Belanda) 100 meter di sebelah timur Boen Bio. Belanda juga mendirikan Pos polisi dengan nama Sectie V politie van Kapasan alias Polisi seksi V Kapasan.
Namun dari kepungan pengawasan itu, dari sebuah rumah di tengah Kampung Kapasan, Liem bersama sejumlah wartawan lain, pada 25 September 1932 nekat mendirikan organisasi politik kaum Tionghoa pertama yang mencantumkan nama Indonesia. Organisasi itu bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI).
Buaya Kapasan Istilah Paling Tersohor
Inilah Kapasan, distrik pecinan Surabaya yang kini penuh dengan padagang kain kaos dan grosir garmen dulu begitu disegani. Pecinan yang satu ini -dulu- paling unik se-Indonesia. Tidak melulu berurusan dagang, namun di Kapasan, sejarah politik perlawanan kolonial muncul dari golongan kaum berkulit putih ini.
Zaman Belanda Kapasan bahkan sulit ditundukkan. Politik pecah belah dengan menjadikan Kapasan sebagai Chinesche Kamp justru membuat kampung ini penuh warna perlawanan. Tidak hanya pendekar kungfu, Kapasan abad 17 hingga awal-awal kemerdekaan terkenal karena menjadi sumbu gerakan peranakan Tionghoa terbesar di Hindia Belanda
Marilah ikuti kisah saya ini. Kemarin saya menemukan jejak wartawan pemberani era 1920- an justru dari tengah kampung Kapasan, di belakang Kelenteng Boen Bio Jl Kapasan. Sosok dari golongan pedagang yang hidup di pecinan. Namanya Liem Koen Hian, seorang jurnalis sekaligus motor nasionalisme etnis Tionghoa di Indonesia yang raib dalam ingatan sejarah.
Sepenggal kiprahnya saya dapatkan tidak sengaja dari rak-rak buku kuno Perpustakaan Medayu Agung, Medokan Ayu, kemarin. Percayalah, di awal-awal abad 20 silam, Liem menjadi lakon nasionalisme warga keturunan Tionghoa dari rumahnya di Kapasan.
“Orang-orang kampung ini pada jaman Belanda dulu dikenal dengan julukan Buaya Kapasan. Kumpulan orang-orang China yang sulit diatur Belanda. Jago kungfu, pemain barongsai. Tapi kritis dan pemberotak dengan caranya sendiri,” kata Ketua Yayasan Medayu Agung, Oei Hiem Hwie, kemarin.
Aktivis Klenteng Boen Bio, Bingki Irawan, mengaku terkesan dengan sejarah Kampung Kapasan dan Boen Bio sebagai sentranya. “Orang Tionghoa Kapasan pernah memboikot perdagangan dengan orang Belanda. Tentu bisa dibayangkan Bagaimana orang Belanda kelimpungan memenuhi kebutuhan logistik masa itu,” kata anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia ini.
Bagitu bahayanya warga Kapasan sehingga Belanda harus menempatkan Kapten China (Pimpinan distrik Pecinan yang pro Belanda) 100 meter di sebelah timur Boen Bio. Rumah itu sekarang diduga menjadi Hotel Ganefo.
Klenteng Boen Bio
Entah berapa banyak versi cerita pendekar kungfu yang lahir dari Kampung Kapasan sampai sampai daerah ini dikenal julukan buaya Kapasan. Sejumlah tokoh silat silih berganti lahir, cerita kemahiran beladirinyapun kerap dibumbui mistik.
Kampung ini sejak lama memang dikenal tempat pelarian para pemberontak dan maling berdarah Tionghoa, karena lokasinya di pinggiran kota dibatasi sungai pegirikan dengan kota, namun bagian timur berbatasan dengan tembok kota, di balik tembok rawa-rawa.
Di lokasi yang tersembunyi inilah Kapasan menjadi tempat mengasah seni beladiri kungfu. Orang-orang yang tinggal di dalam kampung ini masa lalu dikenal sebagai Buaya Kapasan. Bukan yang jelek jelek saja yang yang lahir dari dalam kampung Kapasan, sejumlah penghuninya ternyata banyak yang memiliki saham kemerdekaan untuk negeri ini.
Kini pinggirkan mitos umum jika orang berdarah Tionghoa hanya cakal mengurusi dagangan.n Sebutlah nama Siauw Giok Tjhan. Dia lahir di Kapasan, 23 Maret 1914 dan meninggal Leiden, Belanda, 20 November 1981. Dari gang sempit di belakang klenteng Boen Bio, Siauw menjadi politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionghoa.
Anda pasti tidak banyak yang tahu dia dia? Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Dia memiliki adik bernama Siauw Giok Bie.
Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Banyak kan. Warisan Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, belakangan diubah menjadi Universitas Trisakti.
Sejak kecil Siauw sudah mempunyai watak perlawanan. Siaw kecil kerap diejek kawannya dengan panggilan “Cina loleng”. sapaan merandahkan ini adalah simbul kelompok anti Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa.
Siauw kecil yang kemahir kung-fu dari kakeknya di Kapasan kerap berkelahi melawan anak-anak Belanda, indo-Belanda dan Ambon yang mengejek dirinya. Kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia hanya lulus HBS Ketabangkali, kemudian bersama adiknya Siauw berdagang. Namun perdagangan kain itu dilanjutkan adiknya karena Siaw akhirnya sibuk berorganisasi.
Sosok ini mungkin sudah hilang dari ingatan. Bahkan mungkin tidak pernah ditulis dalam buku-buku sejarah. namanya menjadi besar karena pergaulannya di Kapasan, bukan di kembang jepun dan sekitarnya yang dikenal ‘lebih Pecinan’ di Surabaya.
Liem Koen Hian
Keberanian berpolitik di kapasan sebenarnya ditanamkan sebelum Siauw. Di kampung ini pernah tinggal seorang wartawan pejuang Liem Koen Hia. Liem adalah pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), partai kaum peranakan pertama dan terbesar. Lahirnya di Kapasan.
PTI bervisi Indonesia wajib merdeka. Lawan politiknya, Tiong Hwa Hwee Kian, yang berkiblat ke Tiongkok dan golongan Siu Po yang condong ke Belanda.
Liem begitu legenderis di pra kemerdekaan. Namun namanya kini hilang dalam ingatan publik. Masa Liem organisasi Tionghoa selalu menggunakan kata-kata berbahasa China. Kiprahnya tidak lebih dari perkumpulan yang berciri kepentingan dagang, yaitu memihak semua.
“Namun dari tangan Liem, komunitas Tionghoa pertama kali memikirkan nasionalisme Indonesia, kewarganegaraan Indonesia atau Indische Burgenschap,” kata, pimpinan Perpustakaan Medayu Agung, Oei Hiem Hwie.
Siapa Liem? Menurut catatan biografinya, dia sebenarnya bukan asal Surabaya. Lahir di Banjarmasin pada 1896, dan pada 1915 baru tinggal di Surabaya karena menjadi wartawan harian Tjhoen Tjhioe di kota ini.
Pada 1917 ia menerbitkan Mingguan Soe Liem Poo, akhir 1918 Liem pindah ke Padang dan menjadi pemimpin redaksi Sinar Soematra hingga 1921. Pada 1925 ia diminta memimpin Pewarta Soerabaia, namun justru bergabung dengan Soeara Poeblik di Surabaya hingga 1929.
Setelah mendirikan PTI dari Kapasan, Liem tetap sebagai wartawan Sin Po (Desember 1929-1932). Ia pindah sebentar ke Kong Hoa Po (April 1937 – November 1938), lalu kembali lagi ke Sin Po pada 1939 sebagai pemimpin.
Majalah ini (Sin Po) paling keras pada Belanda, bercita-cita Indonesia merdeka namun dengan berkiblat ke Tiongkok. “Pada 1928, warga Tionghoa pro Belanda menerbitkan majalah saingan bernama Keng Po,” kata Oei sambil menunjukkan tiga bendel terbitan Keng Po.
Ingatan sejarah Indonesia pada Liem, bisa jadi telah hilang. Padahal, Liem pada 1930-an aktif berpropaganda antiJepang dan sempat ditahan Jepang. Pada 1945, Liem menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pimpinan Soekarno-Hatta. Pada 1947, Liem menjadi anggota delegasi RI dalam Perundingan Renville.
Sumber: http://bookofchina300.blogspot.com/2012/05/kampung-kapasan-surabaya.html