Festival Ullambana/Cioko

Alih-alih perayaan penuh mitos yang suram, Hari Ullambana merupakan hari yang membahagiakan. Sudah menjadi sebuah tradisi Tionghoa bahwa setiap bulan ke-7 (Cit Gwee) penanggalan Imlek dianggap sebagai “Bulan Hantu.” Dari larangan pindah rumah dan mengadakan pesta pernikahan, hingga larangan menengok saat ada yang memanggil, merupakan mitos-mitos tabu yang ada dalam tradisi Tionghoa saat memasuki bulan ke-7.Hal tersebut sedikit banyak memengaruhi pandangan sebagian masyarakat terhadap Hari Ullambana yang merupakan salah satu hari raya Buddhis tradisi Mahayana Tiongkok, yang jatuh pada tanggal 15 di bulan yang sama (Cit Gwee). Dan juga tidak sedikit di antara umat Buddhis sendiri yang belum mengetahui apa itu Hari Ullambana.

Berikut 5 hal tentang Hari Ullambana

1. Arti kata “ullambana“
Secara umum kata “ullambana” sering dianggap berasal dari bahasa Sankserta dan yang berarti “menggantung terbalik”. Namun, istilah “ullambana” ini jarang bahkan tidak ada dalam kosakata bahasa Sanskerta. Satu-satunya kata yang terdengar sama adalah “ullamphana” yang berarti “melompat.”

Menurut mendiang Takakusu Junjiro, Profesor Emeritus bahasa Sanskerta dari Universitas Imperial Tokyo, kata “ullambana” berasal dari perubahan kata dalam bahasa Pali, dari kata “ullumpana” yang berarti “menaikkan, menyelamatkan, menolong” yang kemudian menjadi “ullumbana” lalu menjadi “ullambana“. Dalam bahasa Mandarin, “ullambana” diterjemahkan sebagai “yú lán pén” (盂蘭盆) yang secara harfiah diartikan sebagai “mangkuk, baskom, bajan persembahan leluhur.”

2. Bukan Festival Hantu Kelaparan
Meskipun berkaitan dengan adanya kisah hantu kelaparan (Pali: peta; Skt: preta), Hari Ullambana bukan merupakan Festival Hantu Kelaparan atau disebut Zhong Yuan Jie yang mempercayai para hantu dibebaskan dari neraka dan kemudian berkeliaran di dunia manusia untuk mencari makanan selama bulan ke-7.

Hari Ullambana sendiri muncul berdasarkan pada kepustakaan Agama Buddha tradisi Mahayana yaitu Ullambana Sutra (佛说盂兰盆经 – Fú Shuō Yú Lán Pén Jīng) yang isinya mengenai Yang Arya Maudgalyāyana (Pali: Moggallāna), salah satu Siswa Utama Sri Buddha yang sedang bermeditasi melihat mendiang ibunya yang terlahir kembali sebagai hantu kelaparan dan beliau ingin menolongnya. Dan atas nasihat Sri Buddha, Y.A. Maudgalyāyana dapat membantu ibunya dengan cara memberikan persembahan dana kepada Sangha.

3. Hari Pravarana
Hari Ullambana pada dasarnya adalah Hari Pravarana (Pali: Pavarana; mengundang), yaitu hari penanda berakhirnya masa varsa (Pali: vassa – retret musim penghujan) selama 3 bulan bagi para bhiksu. Ullambana Sutra menyebutkan bahwa hari tersebut jatuh pada hari ke-15 (hari Purnama) di bukan ke-7. Pada Hari Pravarana ini para bhiksu berkumpul dalam komunitas dan melakukan pengakuan atas kesalahan mereka satu sama lain dan saling menasihati.

4. Persembahan kepada Sangha
Saat Hari Ullambana, dalam usahanya membantu leluhurnya yang diduga lahir di alam hantu kelaparan (preta), banyak orang yang memberikan persembahan makanan langsung kepada para mendiang leluhur dengan menyajikan makanan di altar leluhur atau di meja yang disediakan khusus. Namun, cara tersebut tidak tepat. Seperti yang tertuang dalam kisah Y.A. Maudgalyāyana di Ullambana Sutta, memberikan makanan kepada orang tua atau leluhur yang sudah meninggal yang terlahir di alam preta secara langsung tidak membuahkan hasil.

Satu-satunya cara yang disarankan oleh Sri Buddha sendiri dalam membantu sanak keluarga yang telah meninggal yang lahir kembali di alam preta adalah dengan mempersembahkan dana kepada Sangha. Dengan membuat jasa berupa persembahan dana kepada Sangha yang telah memurnikan diri selama masa varsa maka seseorang dapat membantu mendiang sanak keluarganya yang terlahir di alam preta. Cara ini disebut dengan pelimpahan jasa (pattidana) melalui Sangha. “Jika seseorang dapat mempersembahkan dana-dana kepada Sangha pada Hari Pravarana tersebut, ayah dan ibunya pada masa kehidupan sekarang, orang tuanya dari keenam generasi yang lampau, akan terbebas dari tiga alam penderitaan.” – Ullambana Sutra.

5. Konversi Kalender
 Penyebaran Agama Buddha dari India ke Tiongkok diikuti dengan penerjemahan teks-teks Buddhis ke dalam bahasa Tionghoa. Namun nampaknya hal tersebut juga diikuti dengan konversi penanggalan yang ada dalam teks-teks tersebut. Salah satunya adalah penanggalan dalam Ullambana Sutra yang menjadi acuan diselenggarakannya Hari Ullambana. Dalam Ullambana Sutra yang diterjemahkan oleh Dharmaraksha (竺法护) pada masa Dinasti Jin (266-313 M), disebutkan Hari Ullambana yang tidak lain adalah Hari Pravarana, jatuh pada tanggal 15 bulan tujuh.

Namun, alih-alih tanggal 15 bulan Kārttika (Pali: Kattikā – bulan ke-7 berdasarkan penanggalan India kuno) atau Oktober-November, Buddhis Mahayana Tiongkok pada masa lalu menetapkan tanggal 15 bulan ke-7 berdasarkan penanggalan Tionghoa yaitu tanggal 15 bulan Cit Gwee (bulan ke-7 penanggalan Imlek) atau Agustus. Jika konversi tanggal dalam Ullambana Sutta dikembalikan dari penanggalan Imlek ke penanggalan India Kuno, maka Hari Ullambana sebenarnya jatuh tepat pada Hari Pavarana yang merupakan hari penanda berakhirnya masa vassa para bhikkhu dalam tradisi Theravada, yaitu sekitar bulan Oktober-November, bukan pada bulan Agustus. Hal tersebut diperkuat dengan ciri-ciri waktu yang disarankan oleh Sri Buddha kepada Y.A. Maudgalyāyana dalam Ullambana Sutra, yaitu pada saat Pravarana, setelah anggota Sangha menyucikan diri.

Sumber: berita.bhagavant.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *