Dewa Langit Utara – Xuan Tian Shang Di
Xuan Tian Shang Di (Hian Thian Siang Te — Hokkian) adalah salah satu dewa yang paling populer, wilayah pemujaannya sangat luas, dari Tiongkok Utara sampai Selatan, Taiwan, Malaysia dan Indonesia. Orang biasanya menyebutnya sebagai Shang Di Gong (Siang Te Kong – Hokkian). Kedudukannya dalam kalangan malaikat tinggi sekali, setingkat di bawah Yu Huang Da Di, dan merupakan salah satu dari Si Tian Shang Di atau Empat Maha Raja Langit. Si Tian Shang Di terdiri dari Qing Tian Shang Di di Timur, Yan Tian Shang Di di Selatan, Bai Tian Shang Di di Barat dan Xuan Tian Shang Di di Utara. Beliau mempunyai wewenang di langit bagian utara dan menjadi pemimpin tertinggi para malaikat di kawasan itu. Sebab itu patungnya selalu dilukiskan dengan menginjak kura-kura dan ular. Xuan Wu adalah dewa yang berkedudukan di wilayah utara dan dilambangkan sebagai ular dan kura-kura. Xuan Tian Shang Di yang disebut juga Zhen Wu Da Di (Cin Bti Tay Tee – Hokkian) adalah Xuan Wu. Lalu pada jaman dinasti Song secara resmi huruf Xuan diganti Zhen, dan sebutan Xuan Wu diganti Zhen Wu Da Di. Di sebelah kanan dan kiri Xuan Tian biasanya terdapat dua orang pengawal yaitu jendral Kang dan jendral Zhao.
Pemujaan terhadap Xuan Tian Shang Di mulai berkembang pada masa dinasti Ming. Dikisahkan pada masa permulaan pergerakannya Zhu Yuan Zhang (pendiri dinasti Ming), dalam suatu pertempuran pernah mengalami kekalahan besar, sehingga ia terpaksa bersembunyi di pegunungan Wu Dang Shan (Bu Tong San — Hokkian), di propinsi Hu Bei, dalam sebuah kelenteng Shang Di Miao. Berkat perlindungan Shang Di Gong (sebutan populer Xuan Tian Shang Di), Zhu Yuan Zhang dapat terhindar dari kejaran pasukan Mongol, yang mengadakan operasi penumpasan besar-besaran terhadap sisa-sisa pasukannya. Kemudian berkat bantuan Xuan Tian Shang Di, maka Zhu Yuan Zhang berhasil mengusir penjajah Mongol dan menumbangkan dinasti Yuan. Ia mendirikan dinasti Ming, setelah mengalahkan saingan-saingannya dalam mempersatukan Tiongkok. Untuk mengenang jasa-jasa Xuan Tian Shang Di dan berterima kasih atas perlindungannya, ia lalu mendirikan kelenteng pemujaan di ibu kota Nanjing (Nanking) dan di gunung Wu Dang Shan. Sejak itu Wu Dang Shan menjadi tempat suci bagi penganut Taoisme. Kelentengnya, dengan patung Xuan Tian dari tembaga, bisa dilihat sampai sekarang. Disamping itu Shang Di Gong juga diangkat sebagai Dewa Pelindung Negara. Tiap tahun tanggal 3 bulan 3 Imlik ditetapkan sebagai hari Shejietnya dan tanggal 9 bulan 9 Imlik adalah hari beliau mencapai kesempurnaan dan diadakan upacara sembahyangan besar-besaran pada hari-hari itu. Sejak itulah pemujaan Shang Di Gong meluas ke seluruh negeri, dan hampir disetiap kota besar ada kelenteng yang memujanya.
Di Taiwan pada masa Zheng Cheng Gong berkuasa, banyak kelenteng Shang Di Gong didirikan. Tujuannya adalah untuk menambah wibawa pemerintah, dan menjadi pusat pemujaan bersama rakyat dan tentara. Oleh sebab itu, maka kelenteng Shang Di Miao tersebar diberbagai tempat. Diantaranya yang terbesar adalah di Tainan yang dibangun pada waktu Belanda berkuasa di Taiwan.
Setelah jatuhnya Zheng Cheng Gong, dinasti Qing dari Manzhu yang berkuasa, mendiskreditkan Shang Di Gong dengan mengatakan bahwa beliau sebetulnya adalah seorang jagal yang telah bertobat. Usaha ini mempunyai tujuan politik yaitu melenyapkan dan mengkikis habis sisa-sisa pengikut dinasti Ming secara moral, dengan memanfaatkan dongeng aliran Buddha tentarg seorang jagal yang telah bertobat lalu membelah perutnya sendiri, membuang seiuruh isinya dan menjadi pengikut Buddha. Kura-kura dan ular yang diinjak itu dikatakan sebagai usus dan jerohan si jagal. Oleh sebab itu maka tingkatannya diturunkan menjadi Malaikat pelindung Penjagalan. Pembangunan kelenteng-kelenteng Shang Di Miao, sejak itu sangat berkurang. Pada masa dinasti Qing ini pembangunan kelenteng Shang Di Miao hanya satu, yaitu Lao Gu She Miao di Tainan. Tapi sebetulnya kaisar-kaisar Manzhu sangat menghormati Xuan Tian Shang Di ini, terbukti dengan dibangunnya kelenteng pemujaan khusus untuk Shang Di Gong di komplek kota terlarang, yaitu Istana Kekaisaran di Beijing, yang dinamakan Qin An Tian dan satu lagi di Istana Persinggahan di Chengde.
Mengenai riwayat Xuan Tian Shang Di ini, seorang pengarang yang hidup pada akhir dinasti Ming, Yu Xiang Tou telah menulis sebuah novel yang bersifat dongeng yang berjudul “Bei You Ji” atau “Catatan Perjalanan Ke Utara”. Novel ini sekarang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul dalam lafal Hokkian, Pak Yu Ki, dalam bentuk cerita bergambar oleh Penerbit Zambhala dari Yayasan Tridarma Jakarta .
Adapun ringkasan riwayat Zhen Wu atau Xuan Tian Shang Di seperti yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah sebagai berikut:
Dikisahkan Yu Huang Da Di (Giok Hong Tay Tee – Hokkian) telah menyatakan keinginannya untuk turun ke dunia, maka satu diantara ketiga rohnya lalu lahir sebagai manusia pada keluarga Liu (bandingkan dengan kepercayaan Kristen tentang Trinitas). Ayahnya Liu Tian Jun, kemudian memberi nama Zhang Sheng yang berarti “Tumbuh Subur”. Liu Zhang Sheng tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas. Pada usia tiga tahun ia sudah dapat membawakan sajak dan membuat syair.
Di taman keluarga Liu (Law — Hokkian) itu terdapat pohon yang besar dan tinggi serta memancarkan cahaya yang berkilauan. Ternyata disitu bersemayam Duo Bao Fo (To Po Hud — Hokkian) atau Buddha Prabutaratna Tathagata. Sang Buddha melihat Liu Zhang Sheng begitu tekun bersembahyang di bawah pohon itu, begitu tulus memujanya, sehingga ia merasa kasihan dan meninggalkan pohon itu. Sepeninggal Duo Bao Fo maka pohon itu menjadi kering dan cahayanya lenyap. Liu Zhang Sheng sangat masygul melihat pohon kesayangannya layu. Duo Bao Fo lalu muncul dihadapannya dan menjelaskan mengapa pohon itu bersinar berkilau-kilauan tapi sekarang layu. Zhang Sheng menyatakan ingin ikut sang Buddha pergi ke istana langit. Sang Buddha menyanggupi, tapi orang tuanya tidak mengijinkan. Liu Zhang Sheng memaksa. Dengan diantar ratap tangis orang tuanya, dia ikut Duo Bao Fo terbang ke langit. Oleh sang Buddha dia diantar ke San Qing Tian (Sam Tjeng Tian — Hokkian yang berarti Istana Tiga Kesucian) tempat kediaman Miao Le Tianzun seorang tokoh agama Dao (Tao). Setelah mengetahui keinginan Liu Zhang Sheng yaitu ingin menjadi Dewa, Miao Le mengatakan bahwa untuk menjadi dewa, ia harus lahir di dunia kembali, untuk bertapa dan mengalami berbagai kesukaran dan cobaan, serta tahan menderita. Lalu Miao Le menambahkan “sebagai manusia kau haras menghilangkan pikiran yang bukan-bukan, kalau ingin berhasil. Sekali berbuat kesalahan, kau akan gagal”.
Kembali Liu Zhang Sheng menitis ke dunia, kali ini menjadi seorang putra raja yang bernama Xuan Ming. Karena kegagahannya Xuan Ming akhirnya diangkat menggantikan ayahnya yang wafat dan menjadi raja di negeri itu. Pada suatu hari Miao Le Tian Zun datang dan mendidiknya memahami masalah kedewaan. Di bawah asuhan Miao Le , ia lalu meninggalkan segala kemewahan dunia sebagai raj a dan mengikuti Miao Le pergi ke gunung untuk bertapa. Di gunung Feng Lai Shan (Hong Lay San — Hokkian) mereka mendirikan gubuk dan tinggal di sana sambil mempelajari kitab-kitab suci dan ajaran-ajaran Dao .
Sudah bertahun-tahun Xuan Ming bertapa, maka suatu hari Miao Le Tian Zun (Biauw Lok Thian Cun – Hokkian) berniat mengujinya. Di suruhnya Xuan Ming turun gunung untuk membeli buah tao, Miao Le menyamar menjadi seorang wanita desa yang cantik dan mencegatnya sambil menawarkan buah persik dengan harga luar biasa mahalnya yaitu 1.000 tael mas sebuah. Tapi bila Xuan Ming mau memperistrikannya, maka buah persik tersebut diberikannya dengan gratis. Xuan Ming terpaksa mengabulkan permintaannya dengan syarat “Aku adalah seorang pertapa, dalam hidup ini memperistrimu adalah tidak mungkin, hanya pada penitisan yang akan datang aku bersedia mengawinimu”. Si wanita dengan tersenyum menjawab, “Dalam penitisan yang akan datang tidaklah menjadi soal, yang penting adalah kesanggupanmu. Sekarang terimalah buah ini”. Tiba-tiba wanita itu lenyap dan Miao Le Tian Zun berdiri dihadapannya dengan wajah gusar “Engkau menginginkan seorang wanita berarti kau masih terikat pada keduniawian, karena itu untuk mencapai kedewaan pada saat ini adalah mustahil, kau harus menitis kembali ke dunia”. Xuan Ming menangis menyesali perhuatan dan kecerobohannya.
Akhirnya dengan diantar oleh Miao Le, Xuan Ming menitis kembali lagi ke dunia negeri Jing Luo Guo (Ceng Lo k Kok – Hokkian) sebagai putera raj a yang bernama Xuan Yuan Tai Zi.
Ketika berusia 15 tahun, dalam suatu v eramaian pada perayaan Yuan Xiao (Goan Siauw — Hokkian, Capgome), Xuan Yuan menjadi dingin hatinya melihat banyaknya kesengsaraan da n kekerasan di masyarakat. Dilihatnya orang berhantam karena berebut wanita, seorang penjambret dihajar oleh massa sampai babak belur, orang kaya dengan segala kemewahannya berpesta pora, sedang dijalan-jalan orang miskin mati kelaparan. Ini semua menggugah keinginannya untuk menjadi dewa dengan meninggalkan keduniawian, seperti pada penitisan yang lalu. Mendengar keinginannya ini raj a sangat marah, Xuan Yuan dijebloskan dalam penjara. Pada saat ia dalam penjara itulah Miao Le Tian Zu n datang menolongnya dan membawanya ke gunung Wu Dang Shan (Bu Tong San – Hokkian). Di sana ia melanjutkan tapanya untuk menjadi dewa. Berkali-kali ayahnya menyuruh orang meminta dia pulang, tapi tekadnya tetap teguh, ayahnya tidak dapat berbuat apa-apa. Setelah 20 tahun bertapa, Miao Le diam-diam menyuruh Malaikat penguasa gunung Wu Dang, untuk mengujinya. Sang Malaikat menyaru sebagai seorang wanita cantik yang mencoba dengan berbagai cara untuk merayu Xuan Yuan. Xuan Yuan kehabisan akal untuk menolaknya, ia lalu bangkit dari meditasinya dan meninggalkan tempat itu. Di kaki gunung ia melihat seorang wanita tua mengasah sebatang besi di atas batu. Ketika Xuan Yuan bertanya apa maksudnya mengasah besi, nenek itu menjawab dia sedang membuat jarum untuk cucunya. Xuan Yua n termenung mendengar ucapan nenek, ia sadar akan makna yang terkandung dalamnya. Dengan teguhnya hati, besi batangan pun dapa t digosok menjadi jarum. Xuan Yuan lalu kembali menjalankan tapanya dengan tekun, setelah berhasil mengatasi berbagai macam godaan. 20 tahun kemudian Miao Le menjemputnya dan naik ke langit untuk bertemu dengan Yu Huang Shang Di (Giok Hong Siang Tee — Hokkian). Yu Huang lalu berfirman dan mengangkat Xuan Yuan menjadi dewa dengan gelar Xuan Tian Shang Di dan berkuasa di sebelah utara dan bertugas memerangi kejahatan serta menangkap siluman dan iblis yang yang mengacau dunia.
Selanjutnya dikisahkan Xuan Tian Shang Di turun ke bumi menaklukkan berbagai siluman, antara lain siluman ular dan siluman kurakura, yang kemudian menjadi pengikutnya. Disamping itu seorang tokoh dunia gelap Zhao Gong Ming (Tio Kong Bing — Hokkian) juga ditaklukan dan menjadi pengawalnya, sebagai pembawa bendera berwarna hitam.
Dalam kisah ini oleh pengarang, kura-kura dan ular yang merupakan lambang Dewa Utara (Xuan Wu) sengaja dipersonifikasikan sebagai manusia untuk lebih menonjolkan Zhen Wu. Akhirnya kisah ini dihubungkan dengan sejarah dinasti Ming dimana diceritakan bagaimana Zhen Wu atau Xuan Tiang Shang Di membantu Zhu Yuang Zhang mengalahkan Kerajaan Yuan (Mongol).
Sehubungan dengan kura-kura dan ular ini, para pengusaha rakit bambu di Taiwan dan Hongkong, memuja Xuan Tian Shang Di, agar kura-kura dan ular di sungai-sungai tidak berani menimbulkan ombak dan gelombang yang mengancam usaha mereka. Kecuali di Taiwan dan Hongkong, pemujaan terhadap Xuan Tian ini juga menyebar di Asia Tenggara, terutama di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Singapura kelenteng yang terkenal memuja Xuan Tian adalah Wak Hai Cheng Bio di Philip Street. Di Indonesia hampir setiap kelenteng menyediakan altar untuknya.
Menurut cerita, Kelenteng Xuan Tian Shang Di yang pertama di Indonesia adalah Kelenteng Welahan, Jawa Tengah. Di Semarang sebagian besar kelenteng ada tempat pemujaan untuknya, sedangkan yang khusus memuja Xuan Tiang Shang Di sebagai tuan rumah, adalah Kelenteng Gerajen dan Bugangan.
Disini dapat dilihat bahwa Xuan Tian Shang Di adalah Dewa Taoisme yang kepopulerannya sejajar dengan Guan Yin dan Guan Di (Kwan Tee — Kwan Kong – Hokkian).
Xuan Tiang Shang Di atau Zhen Wu Da Di ditampilkan sebagai seorang dewa yang memakai pakaian perang keemasan, tangan kanannya menghunus pedang penakluk iblis, dan dengan kedua kakinya yang tanpa sepatu, menginjak kura-kura dan ular. Wajahnya gagah berwibawa dihias dengan jenggot panjang dan rambutnya terurai ke belakang lepas, tidak diikat atau dikonde sebagai umumnya -ambut pria pada jaman itu. Patung-patung Zhen Wu yang terdapat di dalam kelenteng-kelenteng di gunung Wu Dang Shan semuanya juga bergaya demikian.
Menurut cerita-cerita yang beredar di kalangan rakyat, wajah maupun bentuk tubuh patung Xuan Tian itu sesungguhnya adalah wajah kaisar Yong Le dari Dinasti Ming atau yang sering disebut sebagai Ming Cheng Zu (1403 — 1424). Sebab itu ada sebuah pemeo yang mengatakan “Patung Zhen Wu, berwajah Yong Le” Menurut “Catatan Warta-warta dari Hubei”, patung Xuan Tian dan Kaisar Yong Le memang mempunyai kaitan yang erat. Seperti diketahui pada masa permulaan Dinasti Ming, Zhu Di yang sering kali disebut sebagai Pangeran Yan Wang yang berkedudukan di Beijing telah menggerakkan pasukan merebut tahta kerajaan yang pada waktu itu diduduki oleh keponakannya yaitu Kaisar Hui Di. Zh u Di kemudian lalu mengangkat dirinya sebagai kaisar ke 3 Dinasti Ming dengan gelar Cheng Zu dan tahun kerajaannya diganti menjadi Yong Le yang berarti “kegembiraan abadi”, sebab itu ia lajim disebut sebagai Kaisar Yong Le. Banyak menteri yang tidak menyetujui tindakan Kaisar baru ini, mereka tidak puas tapi tak berani terang-terangan mengutarakan kejengkelannya. Umumnya mereka menganut Dao Jiao (agama Dao, Taoisme) dan memuja Xuan Tian Shang Di. Maka diam-diam mereka berdoa kepada sang Dewa agar Kaisar Yong Le dihukum karena perbuatan makarnya.
Tentu saja, Kaisar Yong Le mengetahui kasak-kusuk dikalangan para menteri itu. Pada waktu itu memang pemujaan Xuan Tian Shang Di sangat berkembang. Kaisar memerintahkan pembangunan kelenteng secara besar-besaran di Wu Dang Shan, dan banyak patung Dewa itu dibuat untuk ditempatkan disana. Dalam hati sang Kaisar berpikir: Kamu sekalian mempercayai Dewa, aku akan membuat Dewa buat kalian, tak hanya membuat bahkan menjadikan diriku menjadi Dewa yang kalian sembah. Kalau sudah begitu aku tidak kuatir lagi kalian membangkang perintahku.” Dikumpulkannya tukang-tukang pahat kenamaan di seluruh negeri dan diperintakan membuat area Xuan Tian Shang Di. Kepada mereka Kaisar berkata: “Zhen Wu adalah seorang Maha dewa dari Kahyangan, wajahnya gagah dan berwibawa. Kalian harus berhasil menggambarkan secara tepat.”
Para tukang itu kebingungan mereka belum pernah melihat rupa Xuan Tian Shang Di, bagaimana dapat menggambarkan dengan tepat. Mereka mengerahkan semua kemampuan seninya untuk memahat, dan akhirnya terciptalah beberapa macam sosok Xuan Tian. Umumnya menggambarkan Dewa ini sebagai seorang pria yang tampan, dengan berbagai macam bentuk tubuhnya, ada yang tinggi, gagah, ada yang pendek kekar, berwajah serius, atau tersenyum ramah, dalam keadaan berdiri dan menghunus pedang atau duduk bersila dalam semedi.
Tanpa diduga, Kaisar tidak puas sama sekali dengan hasil pahatan mereka, bahkan menuduh mereka tidak sungguh-sungguh sehingga menjatuhkan citra Sang Dewa. Mereka semua mengalami nasib buruk, ada yang dipenjara, dibuang bahkan ada juga yang dihukum pancung.
Kemudian Kaisar mendengar kabar bahwa ada seorang pemahat ulung dari suku Korea yang namanya sangat termashur sampai ke manca negara. Pemahat itu biasanya disebut Guru Ji. Tanpa menunggu lebih lama, sang Kaisar memerintahkan agar sang pemahat dipanggil. Guru Ji dan para anggota keluarganya paham bahwa memenuhi panggilan Kaisar berarti suatu kepergian yang belum tentu bisa pulang dengan selamat. Tapi firman kaisar tidak dapat ditolak, maka dengan diiringi ratapan sanak keluarganya ia berangkat ke Beijing memenuhi panggilan Kaisar Yong Le.
Dalam benaknya Guru Ji berfikir, “Kaisar membunuh para pemahat mungkin disebabkan karena mereka tidak dapat menduga secara tepat apa yang dikehendakinya. Akan kucoba menerka apa sesungguhnya yang dikehendaki Kaisar dalam pembuatan patung ini”. Begitulah dengan langkah yang tegap ia pergi menghadap Kaisar. Pada saat itu kebetulan Kaisar sedang mandi, ketika mendengar Guru Ji datang menghadap ia lalu memerintahkan agar sang pemahat langsung menemui dia di kamar mandinya. Guru Ji lalu berlutut dihadapan Kaisar tanpa berani menengadahkan mukanya untuk memandang wajah sang Kaisar. Tapi dia berusaha untuk mengamati segala gerak gerik Kaisar dengan cermat.
“Hamba belum pernah melihat wajah Maha dewa Zhen Wu yang berada di Kahyangan. Sedangkan manusia di bumi ini begini banyak, maka sulit bagi hamba untuk memilih wajah siapa yang pantas untuk dijadikan model wajah Zhen Wu Da Di. Apa daya hamba”, demikian Guru Ji berkata kepada Kaisar. “Tolol”, Kaisar membentak sambil beberapa kali menghentakkan kakinya, “gunakan otakmu untuk berpikir.” Mendengar jawaban Kaisar, mendadak seberkas sinar terang terlintas dalam benak Guru Ji,: “Bukankah ia menghendaki aku memakai kakinya yang telanjang sebagai model.” Untuk lebih mempertegas dugaannya ia lalu berkata: “Kalau hamba sudah betul-betul mpmahami bentuk tubuh yang akan dipahat, barulah hamba berani memahat patung itu, tapi …”. Kaisar pura-pura seakan-akan tidak sengaja lalu memutus perkataan sang pemahat; “Menengadahlah.” Kali ini nada suaranya berubah agak ramah.
Sekarang Guru Ji betul-betul telah paham maksud Kaisar, nyalinya menjadi besar, ditengadahkannya kepalanya dan dilihatnya Kaisar berdiri dihadapannya. Wajahnya bundar, hidungnya besar, dan matanya agak menonjol, karena habis mandi rambutnya terurai kebelakang, dan kakinya telanjang. Hati Guru Ji jelaskah sudah, tapi ia masih juga bertanya: “Wajah Zhen Wu Da Di harus hamba buat bagaimana?”. Kaisar tidak menjawab, hanya meraba-raba kepalanya sambil menepuk-nepuk. Isyarat ini bagi Guru Ji sudah lebih dari cukup. Ia lalu keluar dari istana dan mulai membuat model patung Xuan Tian berdasarkan keadaan Kaisar Yong Le pada waktu habis mandi. Dan akhirnya sebuah patung perunggu yang beratnya 20.000 kati berhasil dibuat.
Begitu melihat hasil buatan Guru Ji, Kaisar tak henti-hentinya mengangguk dan memuji patung Zhen Wu yang satu ini sungguh-sungguh bagus dan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Kaisar memotong sebagian jenggotnya dan dilekatkan didagu patung itu. Sejak itulah Kaisar Yong Le sekaligus menjadi Kaisar di dunia dan “Dewa di langit”. Orang-orang tidak berani menentangnya lagi. Dan patung ini sampai sekarang masih ada di kelenteng Zi Xiao Gong di gunung Wu Dang. Para pematung lain kemudian menjadikan patung tersebut sebagai model patung Xuan Tian yang baku, sehingga patung-patung yang muncul kemudian berbentuk seperti itu. Patung Xuang Tian yang kita lihat di Welahan dan Kelenteng Tay Kak Sie Semarang juga bergaya demikian, hanya oleh para pemuja sering ditambah mahkota dari kertas yang diganti tiap-tiap tahun.
Wu Dang Shan, gunung suci para penganut Daoisme, terletak di propinsi Hubei, Tiongkok tengah. Sejak jaman Dinasti Tang, kelenteng-kelenteng sudah mulai didirikan di sana. Tapi pembangunan besar-besaran adalah pada masa pemerintahan Kaisar Yong Le pada jama n Dinasti Ming. Tidak mengherankan karena Xuan Tian Shang Di diangkat sebagai Dewa pelindung Kerajaan. Diantara kelenteng-kelenteng di sana yang terkenal adalah Yu Xu Gong (Giok Hi Kiong — Hokkian) yang terletak di bagian barat laut puncak utama Wu Dan g Shan, bangunannya bergaya istana Beijing. Lalu adalagi Yu Zhen Gon g yang dibangun pada tahun Yong Le ke 15. Kelenteng ini terletak di kaki utara Wu Dang Shan. Di sini terdapat pemujaan dan patung Zhang San Feng (Thio Sam Hong — Hokkian) pendiri persilatan cabang Wu Dang (Bu Tong Pay – Hokkian).
Kelenteng Zi Xiao Gong terletak di puncak timur laut, bangunan kuil inilah yang paling lengkap, dan merupakan pusat dari keseluruhan rangkaian tempat ibadah di gunung itu. Patung perunggu Zhen Wu Da Di hasil pahatan Guru Ji itu ditempatkan di sini. Di kelenteng ini anda akan melihat juga lambang gunung Wu Dang Shan yaitu patung kurakura da n ular. Patung logam itu menggambarkan seekor kura-kura sedang dililit erat-erat oleh seekor ular. Katanya sang ular bermaksud memaksa sang kura-kura memuntahkan semua isi perutnya.
Menurut kepercayaan, kura-kura itu berasal dari perut besar (maag) dan sang ular dari usus Zhen Wu, yang berubah rupa. Dikisahkan bahwa suatu ketika dalam samadhinya yang tanpa makan dan minum, Zhen Wu alias Xuan Tian merasakan usus dan lambungnya sedang bertengkar. Rupanya rasa lapar yang amat sangat menyebabkan kedua organ itu saling salah menyalahkan. Zhen Wu menyadari kalau hal ini dibiarkan dapat mempengaruhi ketentraman batinnya. Dalam kejengkelannya, ia lalu membelah perutnya dan mengeluarkan kedua anggota badan itu, lalu dilemparkan ke rerumputan dibelakangnya, kemudian seperti tanpa terjadi sesuatu ia melanjutkan samadhinya.
Sang perut besar (lambung) dan usus karena tiap hari mendengarkan Zhen Wu membaca ayat-ayat suci Dao, lama kelamaan memiliki tenaga gaib juga. Keduanya lalu berubah jadi kura-kura dan ular dan menyelinap turun gunung untuk memakan ternak, dan juga manusia. Zhen Wu yang telah menjadi dewa, sangat murka akan kejadian ini.
Dengan pedang terhunus dan mengendarai awan ia turun gunung. Tebasan pedangnya dipunggung sang kura-kura meninggalkan bekas sampai sekarang. Sejak itu punggung kura-kura tapak guratan-guratan seperti bekas tebasan pedang. Dengan tali wasiat diikatnya leher sang ular, sehingga sejak itu leher ular menjadi lebih kecil dari tubuhnya.
Kura-kura dan ular setelah ditaklukkan, memperoleh pangkat “erjiang” yang berarti “dua panglima”, dan menjadi landasan tempat duduk Zhen Wu. Tapi sang kura-kura rupanya masih belum hilang watak silumannya. Hal ini diketahui oleh Zhen Wu , beliau lalu memerintah sang ular melilit tubuh kura-kura erat-erat, agar segala barang yang pernah ditelannya dimuntahkan kembali, dan supaya mengungkapkan semua kejahatan yang telah dilakukannya. Patung dari kura-kura dan ular ini sampai sekarang masih ada di ruang belakang kelenteng Zi Xiao Gong dan selanjutnya dijadikan logo yang melambangkan gunung Wu Dang Shan.
Masih ada satu peninggalan penting yang ada sangkut pautnya dengan Zhen Wu Da Di, yaitu sebuah sumur yang dinamakan Mo Zhen Jing (Sumur tempat mer.gasah jarum). Konon pada waktu Zhen Wu sedang melakukan tapa di gunung ini, hatinya terasa goyah, Ia lalu memutuskan untuk lari meninggalkan tempat itu. Sampai di tepi sumur ini ia melihat seorang wanita tua sedang mengasah alu besi. Zhen Wu merasa heran lalu menanyakan apa maksud nenek itu mengasah alu besi. Dengan tertawa si nenek berkata bahwa ia sedang mengasah alu untuk membuat jarum sulam. Mendengar jawaban ini Zhen Wu baru menyadari maksud yang terkandung dibalik perkataan sang nenek. Segera ia kembali ke atas gunung untuk melanjutkan tapanya. Nama “mo-znen-jing” dengan demikian menjadi terkenal. Kini di dekat sumur itu dibangun rangon dan patung seorang nenek tua yang mengasah alu.
Sumber: Buku Dewa-Dewi Kelenteng, Yayasan Kelenteng Sampookong, Gedung Batu – Semarang, 1990