Dewa Pondasi, Malaikat Pintu, Dewa Penunggu Talang, Dewa Dapur dan Dewa Sumur
Kelima Dewa di atas biasanya disebut Wu Si atau Lima Hyang. Pemujaan terhadap mereka sudah lama sekali, mungkin sejak pertengahan dinasti Shang tahun 1250 SM. Biasanya tidak memakai papan pemujaan dan juga tanpa area, walaupun kadang-kadang ada.
Di dalam rumah, kadang-kadang diadakan sembahyangan untuk Di Ji Zhu (secara harfiah berarti Malaikat Penjaga Pondasi Rumah), yang merupakan Dewa Penjaga Rumah atau Hu Shen dan dianggap Tu Di Gong penunggu rumah tersebut. Sembahyang yang diadakan untuk Di Ji Zhu adalah empat kali dalam setahun yaitu Qing-ming (Ceng-beng — Hokkian), Dua-wu (Toan ngo – Hokkian atau Peh-cun), Zhongyuan (Tiong goan — Hokkian, yaitu tanggal 7 bulan 7 Imlik) dan Chuxi (yaitu menjelang tahun baru Imlik).
Men Kou Gong (secara harfiah berarti Datuk Penunggu Pintu) seringkali disebut juga Men Shen (Mui Sin — Hokkian) yang berarti Malaikai Pintu. Malaikat Pintu ini seringkali digambarkan pada daun pintu kiri dan kanan. Sekarang ini malah tersedia dalam wujud gambar tempel yang tinggal dilekatkan di daun pintu untuk siapa saja yang berminat.
Menurut penelitian sejarah, Malaikat Pintu yang paling kuno dikenal orang adalah Shen Tu dan Yu Lei. Siapa sesungguhnya kedua malaikat ini, dijelaskan dalam buku “Zhong-guo-gu-dai Shenhua.” Dikisahkan bahwa kcdua malaikat itu adalah dua saudara yang dititahkan oleh Kaisar Purba Huang Di untuk memerintah semua iblis yang ada di Mayapada ini. Konon kedua bersaudara ini tinggal disebuah pulau yang disebut Tao Du Shan (Tho Touw San – Hokkian) yang terletak di Laut Timur. Di pulau itu terdapat sebatang pohon persik yang besar sekali, cabang-cabangnya menaungi wilayah seluas beberapa ribu kilometer persegi. Di puncak pohon tersebut bertenggerlah seekor ayam jantan berwarna keemasan.
Pada waktu sinar matahari pagi mulai menyinari puncak pohon itu, sang ayam jantan mengapakkan sayapnya dan berkokok. Pada saat itulah Shen Tu dan Yu Lei berdiri tegak dengan gagahnya di cabang yang paling bawah dari pohon raksasa itu untuk mengawasi iblis-iblis yang berbagai macam bentuknya itu kembali, setelah berkeliaran kemana-mana semalam penuh. Dikatakan bahwa iblis suka berkeliaran pada malam hari dan kembali pada saat ayam berkokok. Perlu diketahui bahwa, bagian cabang yang terbawah dari pohon tersebut, yang menjorok ke timur laut, merupakan “gerbang hantu,” tempat ribuan iblis tiap hari masuk dan keluar. Kalau diantara para iblis itu ternyata ada yang kedapatan telah berbuat kejahatan, seperti menganggu manusia, tanpa ampun lagi kedua malaikat bersaudara itu segera menangkapnya, diikat, kemudian dilemparkan ke jurang untuk makanan Sang Raja Gunung (harimau). Sebab itu iblis-iblis yang sering kali berbuat jahil sangat takut dan tidak berani berbuat sembarangan. Maka, kemudian orang lalu membuat patung kedua malaikat itu, ditempatkan di kiri dan kanan pintu dan tak lupa menempatkan gambar harimau di atas pintu untuk menakuti para iblis. Lama kelamaan, untuk praktisnya, bukan lagi patung tapi cukup dengan gambar atau namanya saja yang tertulis di daun pintu.
Tapi kemudian tokoh yang diabadikan sebagai malaikat pintu ini oleh orang-orang pada jaman selanjutnya diubah menjadi Yu-chi Jing De (Ut-ti Keng Tek atau Ut-ti Kiong – Hokkian) dan Qin Shu Bao (Cin Siok Po — Hokkian). Keduanya adalah pahlawan terkenal pada jaman permulaan dinasti Tang yang membantu Li Shi Min (Li Si Bin — Hokkian) membangun dinasti tersebut. Setelah Li Shi Min mengangkat dirinya sebagai Kaisar yang bergelar Tang Tai Zong (Tong Thay Cong – Hokkian) mereka berdua diangkat menjadi Raja Muda. Konon seperti dituturkan dalam cerita Xi You Ji atau Perjalanan ke Barat karya pengarang jaman dinasti Ming, Wu Cheng En. Pada suatu hari kaisar Tai Zong jatuh sakit, dalam keadaan sakit itu sang kaisar sering mendengar suara. Suara itu berasal dari roh-roh jahat yang datang mengganggu. Atas nasehat tabib istana, Qin Shu Bao dan Yu chi Jing De berjaga di muka pintu kamar sang kaisar untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu itu. Setelah kaisar sehat kembali, rakyat percaya bahwa dengan menempel gambar kedua jenderal itu, semua roh jahat akan menyingkir.
Lama-kelamaan kebiasaan ini semakin populer dan Malaikat Pintu yang lama yaitu Shen Tu dan Yu Lei lalu dilupakan orang. Qin Shu Bao dan Yu-chi Jing De inilah yang gambarnya ki*a lihat sekarang pada daun pintu sebagian besar kelenteng yang ada.
Adalagi dua orang tokoh yang seringkali juga dijadikan figur Malaikat Pintu. Kedua orang ini adalah Zheng Lun (The Lun – Hokkian) dan Chen Qi (Tan Ki — Hokkian) yang dikenal sebagai Heng Ha Er Jiang atau Dua Panglima Pendengus dan Peniup.
Zheng Lun si Pendengus semula adalah komandan pasukan pengawal ransum dari Zhou Wang kaisar terakhir dinasti Shang. Ia memiliki kesaktian untuk menyemburkan dua berkas sinar putih dari lubang hidungnya apabila dia mendengus. Sinar ini dapat menghancurkan musuh-musuhnya, tapi kemudian ia beralih memihak pasukan Jiang Zi Ya yang memerangi Zhou Wang.
Dalam pertempuran untuk menumbangkan Zhou Wang inilah Zheng Lun si Pendengus bertemu lawannya yaitu Chen Qi, si peniup, yang memiliki kesaktian untuk menyemburkan gas kuning dari mulutnya. Dalam pertempuran itu keduanya saling menggunakan kesaktiannya, tapi hasilnya seri. Akhirnya Chen Qi tewas di tangan Huang Fei Hu, setelah lebih dulu di pukul jatuh oleh No Zha (Lo Cia – Hokkian). Sedangkan Zheng Lun akhirnya gugur di tangan Jin Da Sheng seorang panglima perang Zhou Wang.
Setelah dinasti Shang tumbang dan Zhou Wang tewas, dinasti Zhou berdiri dan Wen Wang menjadi kaisar, Jiang Zi Ya (Kiang Cu Ge – Hokkian) melantik kedua panglima pendengus dan peniup itu menjadi Malaikat Pengawal Bangunan-bangunan Suci. Patung-patung mereka seringkali tampak di depan pintu Kuil Buddha ataupun Taoisme di Tiongkok Daratan, tapi di Asia Tenggara jarang ada kelenteng yang memasang patung maupun gambar kedua malaikat ini.
Khusus kuil yang bercorak Buddhisme seperti Tay Kak Sie di Semarang misalnya, sering memakai dua orang buddhisatya yang berpakaian perang lengkap, yaitu Qie Lan dan Wei Tuo sebagai Malaikat Penjaga Pintu, seperti yang tampak garnbarnya di kelenteng tersebut.
Di antara keempat macam Malaikat Pintu yang dewasa ini sering dipasang garnbarnya di rumah-rumah penduduk adalah Qin Shu Bao dan Yu-chi Jing De. Pemasangan gambar Malaikat Pintu ini kemudian tidak lagi terbatas pada pintu kuil saja, tapi sudah merupakan suatu keharusan untuk tiap bangunan, baik itu rumah maupun kantor. Hal ini dapat kita lihat sekarang di Taiwan, Hongkong dan Singapura bahkan di Jepang dan Korea.
Yan Kou Ma atau seringkali disebut Zhong Liu Shen adalah Malaikat Penunggu Talang, yang menjaga keselamatan rumah beserta semua penghuninya.
Zao Jun Ye (Ciao Kun Ya – Hokkian) yang seringkali disebut sebagai Zao Wang Ye (Ciao Ong Ya – Hokkian), Zao Jun gong (Ciao Kun Kong – Hokkian) atau Si Ming Za o Jun (Su Bing Ciao Kun – Hokkian) adalah Dewa Dapur. Diantara kelima Hyang yang dipuja di dalam rumah tangga, Zao Jun Ye termasuk yang paling umum dan terkenal. Pemujaan keempat Hyang yang lain di Indonesia sekarang ini sudah jarang terlihat hanya Zao Jun saja yang masih ada.
Walaupun berkedudukan di dapur, tapi Zao Jun berkedudukan lebih tinggi dari keempat Hyang yang lain. Dia dianggap sebagai Dewa Pelindung Rumah, sebab itu hanya dalam rumah tangga saja umumnya ada altar untuknya, jarang ada kelenteng khusus untuk memuja, kalau toh ada hanya sebagai pelengkap. Di Kelenteng Tay Kak sie, Gang Lombok Semarang, Zao Jun Ye ditempatkan bersamaan dengan San Guan Ta Di (Sam Koan Tay Tee — Hokkian) di atas pintu masuk utama, patungnya hanya kecil, sehingga jarang ada orang tahu.
Di Tiongkok, Dewa Dapur mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan masyarakat pada jaman purbakala. Zao Jun dipuja sebagai sang pencipta api, tapi karena kemudian ada dewa yang khusus menguasai api, maka Zao Jun dipuja sebagai Dewa Pelindung Rumah Tangga, yang bertugas memberikan berkah dan hukuman kepada penghuni rumah yang bersangkutan sesuai dengan perbuatannya. Untuk tugas ini Zao Jun membuat laporan tahunan tentang tingkah laku semua penghuni rumah dan pada akhir tahun yaitu jatuh tanggal 24 bulan 12 Imlik, beliau naik ke singgasana langit untuk memberikan laporannya kepada Yu Huang Shang Di.
Umumnya sembahyang kepada Zao Jun dilakukan hanya setahun sekali yaitu pada tanggal 24 bulan 12 Imlik. Kita umumnya menyebut hari ‘Tao Pek Kong naik”. Di Beijing, sampai sekarang ini, para tukang masak rumah makan dan hotel-hotel besar dari segala pelosok kota menyempatkan diri untuk bersembahyang ke Kelenteng Dewa Dapur (ini mungkin satu-satunya di kota itu, sebab memang jarang ada kelenteng khusus untuk memuja Dewa Dapur) yang dianggap Dewa Pelindung oleh mereka, pada tanggal 3 bulan 8 Imlik. Hari itu dianggap sebagai hari ultah Zao Jun.
Pada hari “Tao Pek Kong naik” itu, masyarakat mengadakan sembahyang untuk melepas kepergiannya. Gambar atau palang Zao Jun diletakkan di tengah altar, di kiri kanannya dua baris syair ditulis di atas kertas merah dan sebuah lagi ditempelkan melintang di atasnya. Syair itu umumnya berbunyi “Paduka Zao Jun Yang Mulia, sebutkanlah kebaikan kami dilangit, bawalah berkah bagi kami apabila Anda turun kembali.” Karena Zao Jun Ye dianggap Dewa Penguasa Keluarga maka pada kesempatan itu semua anggota keluarga hadir dan dipimpin oleh kepala keluarga. Tetapi kebiasaan di berbagai daerah berbeda-beda. Ada suatu tempat tak mengijinkan kaum wanita, bahkan nyonya rumah pun tak diperkenankan hadir dalam upacara sembahyang tersebut. Di propinsi Anhui lain lagi halnya, hanya para orang yang telah lanjut usia saja yang diperkenankan ikut hadir dalam upacara. Pada jaman dinasti Tang, persembahan kepada Zao Jun hanya terdiri atas semangkok teh dan tiga batang hio saja. Tapi belakangan sesajen itu bertambah banyak, umumnya terdiri dari barang makanan dan buah-buahan yang manis, seperti manisan bligo, penganan ketan yang dibalur gula. Pada keluarga yang kaya, barang sajian tentu saja lebih mewah dan bervariasi seperti kue, manisan, buah-buahan seperti semangka, jeruk segar, daging dan lain-lain. Di daerah Jiangnan (sebelah Selatan Sungai Yangzi) dalam upacara sembahyang ini, penduduk membuat wedang ronde, manisan kecambah gandum dan kue babi.
Sesudah semua sesaji itu diatur rapi dan ditempatkan di depan patung atau gambar Zao Jun, mereka mulai bersembahyang dengan harapan semoga Zao Jun Ye mengatakan yang baik-baik saja dalam laporannya kepada Tuhan. Lilin dan hio disulut, kertas uang dan kudakudaan kertas dibakar untuk mengantar keberangkatan Zao Jun. Di beberapa daerah, petasan pun dibuat untuk dipasang menyemarakkan suasana, sekaligus untuk mengusir roh-roh jahat. Sebagian orang berharap agar pada saat keberangkatan Zao Jun Ye bertiup angin agar ia lebih cepat sampai ketujuan. Kadang-kadang gambar Zao Jun Ye juga ikut dibakar dan naiklah Zao Jun bersama api dan asap.
Setelah selesai biasanya segera diadakan upacara pembersihan altar pemujaan para dewa di tiap-tiap rumah secara serentak. Arti dari upacara ini adalah menyapu bersih segala sesuatu yang membawa sial bagi keluarga itu. Tetapi apabila pada tahun itu, keluarga tersebut mengalami duka cita (kematian salah satu anggota keluarganya), maka tidak diperbolehkan mengadakan sembahyangan untuk mengantar kenaikan Zao Jun dan juga tidak boleh mengadakan pembersihan, sebab dikawatirkan roh dari orang yang meninggal tersebut akan datang mengganggu.
Siapa sesungguhnya yang ditokohkan sebagai Zao Jun Ye ini? Menurut buku kuno yang berjudul “Upacara-upacara dari negeri Zhou,” sebuah buku dari aliran Konfusius yang mencatat beberapa ketetapan dan peraturan dari Kerajaan Zhou Barat (476 – 221 SM), disebutkan bahwa Zh u Rong, putra Zhuan Xu dan cucu Huang Di (Oey Tee – Hokkian) selalu menangani masalah yang berkaitan dengan api Setelah wafat Zhu Rong kemudian diangkat menjadi Dewa Dapur. Pada jaman dinasti Zhou, keluarga kaya selalu meletakkan sesajian untuk Dewa Dapur di dapur mereka. Jadi kita sekarang tahu bahwa pemujaan Dewa Dapur sudah ada sejak jaman dinasti Zhou, 2000 tahun yang lalu. Sementara itu, sebuah kitab yang memuat ajaran Taoisme, yaitu Huai Nan Zi, yang diterbitkan pada jaman dinasti Han Barat (206 SM – 25 M) memuat hal-hal sebagai berikut: Kaisar Huang Di (Oey Tee – Hokkian) adalah orang yang menciptakan tungku dapur, sebab itu setelah wafat beliau diangkat menjadi Dewa Dapur. Sebab itu Dewa Dapur diletakkan sejajar dengan Huang Di, yang dianggap leluhur orang Tionghoa.
Sesungguhnya, siapa sebetulnya Zao Jun alias Dewa Dapur, masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Dalam “Bunga rampai dari You Yang,” sebuah buku yang terbit pada jaman dinasti Tang menceritakan adat kebiasaan pada masa itu dan memastikan bahwa Zao Jun Ye berasal dari keluarga Zhang (Thio – Hokkian). Versi inilah yang kemudian beredar luas dan menjadi sangat populer.
Diceritakan bahwa ada seorang pemuda kaya yang bernama Zhang Sheng. Ia memiliki tanah yang luas dan ternak yang banyak. Ia meraperistri seorang wanita yang baik budi dan bijak serta cantik yang bernama Guo Ding Xiang. Semuanya berjalan baik sampai akhirnya Zhang mengambil wanita yang busuk dan dengki hatinya sebagai istri kedua, yang bernama Li Hai Tang.
Akibatnya pengaruh dari Li Hai Tang yang berbisa ini Zhang Sheng kemudian menceraikan istrinya. Tanpa sepengetahuan sang istri, Zhang Sheng yang sudah mabuk kepayang, menghambur-hamburkan harta bendanya bersama Li Hai Tang, Selang dua tahun kemudian karena keborosan hidupnya, Zhang Sheng jatuh miskin. Li Hai Tang melinat tidak ada harta lagi yang bisa diperolehnya, lalu ia pergi bersama lelaki lain dan meninggalkan Zhang Sheng yang kemudian hidup sebagai pengeinis. Pada suatu hari, dimusim dingin yang teramat dingin, Zhang yang kelaparan itu tertatih-tatih memasuki pintu sebuah rumah besar, untuk meminta sedikit makanan. Seorang pelayan menerimanya dengan baik dan membawanya ke dapur, di situ ia memperoleh makanan.
Dari penuturan sang pelayan, Zhang Sheng mengetahui bahwa si pemilik rumah besar itu adalah seorang wanita yang baik hati dan gemar menolong orang yang miskin dan yang lebih menarik adalah wanita itu tidak menikah. Hal itu sangat menimbulkan rasa kagumnya. Pada waktu wanita pemilik rumah datang menemuinya, ia jadi terkejut sekali setelah tahu bahwa ia tak lain adalah istrinya yang telah diceraikan, Guo Ding Xiang. Merasa malu akan perbuatannya sendiri Zhang Sheng tak berani menemuinya. Akhirnya ia bersembunyi di dalam sebuah tungku dan tetap di situ sampai dia mati terbakar. Ketika mendapatkan bahwa orar>” yang hangus terbakar di dalam perapian itu adalah bekas suaminya, Guo Ding Xiang sangat sedih. Guo akhirnya juga meninggal karena kesedihannya. Ketika Yu Huang Da Di si Kaisar Pualam mengetahui peristiwa ini, beliau sangat terkesan akan ketulusan hati Zhang Sheng yang berani mengakui kesalahannya. Maka ia menobatkannya menjadi Za o Jun atau Dewa Dapur. Kemudian istri pertamanya, Guo Ding Xiang, juga diangkat sebagai Dewi Pendampingnya, yang lazim disebut dengan Zao Nainai.
Ada lagi kisah lain juga menokohkan seorang yang bernama depan Zhang. Dikisahkan ada seorang suami istri yang sangat melarat hidupnya. Penderitaan mereka semakin berat setelah datangnya musim panas yang panjang. Karena tak ada lagi yang dapat menyambung hidup mereka, maka sang suami terpaksa merelakan istrinya menjadi istri muda seorang yang kaya raya. Sang hartawan ternyata seorang yang suka berbuat amal, tiap terjadi bencana kekeringan, ia selalu membuka dapur umum untuk membantu rakyat sekitarnya yang kelaparan dan usaha terpuji ini biasanya ditangani oleh isteri mudanya. Maka pada suatu hari bencana kelaparan datang lagi menebarkan kesengsaraan. Zhang lalu berdiri diantara deretan panjang di rumah sang hartawan untuk memperoleh pembagian makanan. Tapi apa mau dikata, sebelum sampai giliran Zhang, jatah makanan sudah keburu habis dan Zhang terpaksa pulang dengan perut kosong. Kawatir kalau bekas suaminya tidak kebagian keesokan harinya, sang isteri memerintahkan pembagian makanan agar dimulai dari bagian belakang. Tapi, karena kemarinnya tidak kebagian, Zhang kali ini datang lebih awal dan sekarang pada urutan paling depan. Akhirnya pembagian belum sampai pada gilirannya, lagi-lagi nasi sudah habis. Melihat itu bekas isteri ini sedih sekali. Pada hari ketiga ia memutuskan akan mulai dari tengah. Tapi hari itu tak tampak bekas suaminya datang. Rupanya dua hari terlewatkan tanpa sebutir nasi pengisi perut, telah membuat Zhang mati kelaparan. Tahu akan kematian suaminya, sang bekas isteri merasa hidupnya tidak ada artinya. Dalam kesedihan yang amat sangat itu akhirnya sang bekas isteri menggantung diri untuk mewujudkan kesetiaannya pada suaminya yang terdahulu itu. Kemudian, Yu Huang Da Di mengangkat kedua suami isteri yang setia itu sebagai Dewa dan Dewi Dapur.
Ini adalah sebuah versi lain lagi. Tersebutlah seorang dewa bernama Zhang Wei alias Zi Guo yang pandai lagi tampan. Ia menjabat suatu kedudukan di kahyangan. Tapi wataknya malas dan sangat gemar akan paras cantik. Meskipun demikian, Yu Huang Da Di menyayanginya. Dewa-dewa lain tidak menyukai perilaku itu. Akhirnya atas dorongan Xi Wang Mu (See Ong Bo – Hokkian), Yu Huang Da Di lalu memerintahkan Zhang Wei turun ke dunia untuk menjadi Dewa Dapur, supaya ia dapat sepuas-puasnya melihat wanita, karena yang bekerja di dapur umumnya adalah wanita.
Versi keempat lain lagi ceritanya. Adalah seorang pemuda yang miskin tapi sangat malas, namanya Zhang Ding Fu (Thio Ting Hok — Hokkian). Ia selalu memaksa isterinya untuk bekerja mati-matian, sedang dirinya hanya hidup bermalas-malas dengan minum arak dan berjudi. Karena kehabisan uang dan banyak berhutang akhirnya sang isteri di jual pada seorang hartawan. Uang hasil penjualan isteri itupun akhirnya habis di meja judi. Tanpa rasa malu, ia sembunyi-sembunyi mendatangi bekas isterinya untuk minta makanan dan uang.
Begitulah berulang-ulang. Bekas isteri khawatir apabila terus menerus demikian, bisa-bisa diketahui suami barunya, yaitu sang hartawan. Maka ia memasukkan sebuah uang perak ke dalam sebuah kue bakcang dan diberikannya kepada Zhang Ding Fu dan berpesan supaya untuk selanjutnya Zhang tidak usah datang lagi. Ternyata Zhang Di Fu tidak memakan bakcang tersebut, malahan memakainya sebagai taruhan judi. Apa mau dikata, ia kalah lagi. Terpaksa ia menebalkan muka mendatangi bekas isterinya lagi. Sang bekas isteri berkata bahwa ia telah memberi uang perak untuk bekal hidup. Tahu akan hai itu, Zhang sangat malu dan akhirnya membenturkan kepalanya ke tembok dapur dan meninggal. Sang bekas isteri kemudian mendirikan papan arwah di sana dan disembahyanginya. Di papan itu tertulis “Ding Fu Shen Wei” yang artinya papan arwah Ding Fu. Ketika orang bertanya pada siapa ia bersembahvang, maka jawabnya bahwa ia sedang bersernbahyang pada Dewa Dapur. Maka nama gelar Zao Jun yaitu Dong Chu Si Ming Jiu Ling Yuan Wang Ding Fu Zhen Jun berasal dari sini.
Ada yang berpendapat bahwa Zao Jun ini merupakan dewa yang diciptakan oleh orang-orang Taoist, walau kemudian diterima dan dipuja oleh semua lapisan masyarakat. Asal mula pemujaan terhadap Zao Jun, menurut legenda bermula dari seorang Taoist (pendeta Tao) yang bernama Li Shao-jun pada masa kerajaan Han di bawah pemerintahan kaisar Xiao Wu (140 – 87 SM). Li Shao-jun berasal dari negeri Qi (propinsi Shandong bagian Utara), konon pernah bertemu Zao Jun yang kemudian mengajarkan rahasia hidup abadi. Sang Pendeta kemudian pergi menemui kaisar Xiao Wu dan mengatakan padanya bahwa sang kaisar dapat memperoleh. kepandaian yang dimiliki oleh Zao Jun apabila dia mau memuja dewa tersebut. Sang kaisar menuruti nasehatnya dan kemudian ia memperoleh kepandaian alkimia (semacam ilmu kimia pada jaman kuno yang bertujuan mempelajari cara mengubah logam biasa menjadi emas) pada tahun 133 SM. Sejak itulah rupanya pemujaan kepada Zao Jun mulai meluas.
Pemujaan Zao Jun di Taiwan dan di propinsi Fujian, dewasa ini tidak lagi dilakukan di dapur, tetapi ditempatkan di ruang tengah rumah dimana diletakkan altar dan gambarnya. Sembahyang ulang tahun dan mengantar kenaikannya, dilakukan di ruang tengah ini. Zao Jun di daerah lain, karena pemujaannya terletak di dapur, sepanjang tahun kena asap sehingga berwarna hitam. Sebab itu ia disebut Zao Wang Ye atau Paduka Raja Hitam. Di dalam beberapa cerita rakyat Zao Jun seringkali digambarkan memakai jubah berwarna hitam.
Masih ada satu ciri khas lagi, dibeberapa daerah di daratan Tiongkok, Zao Jun dipuja tidak dalam bentuk patung, tapi dalam bentuk gambar yang dibuat secara khusus. Gambar ini dibeli pada tahun sebelumnya. Ada yang hitam putih, ada yang berwarna dan juga ada yang digambarkan beserta Zao Jun Nai Nai (isterinya) dan Xiao Zao Jun (anaknya). Zao Jun yang dipuja di sini masih ada ciri lagi yaitu berkumis dan berjenggot.
Zao Jun yang dipuja di daerah propinsi Fujian dan Taiwan, termasuk Asia Tenggara, biasanya ditampilkan tanpa pendamping, berwajah putih bersih tanpa kumis dan jenggot, tangannya menggenggam Ru-yi, topi dan jubahnya model pejabat pada jaman Dinasti Han.
Tanggal 4 bulan 1 Imlik adalah hari menyambut kembalinya Zao Jun. Di Indonesia, hal ini disebut ‘Tao Pek Kong turun.” Di kelenteng-kelenteng pun diadakan sembahyang untuk menyambut berkah yang dibawanya. Upacara sembahyang ini disebut Yin Shen Jie Fu (In Sin Ciap Hok — Hokkian), atau menyambut Dewa dan menerima “berkah.”
Jing Long Wang adalah Jing Shen atau Malaikat Penunggu Sumur yang menguasai sumber air dan sumber penyakit. Pada Hari Raya Dong Zhi (Tang cek — Hokkian) orang mengadakan sembahyang untuk dewa ini dengan menyediakan sesaji berupa wedang ronde dan semacam bakpao dari ketan. Jing Long Wang seringkali digambarkan sebagai seorang wanita dengan pakaian pejabat pada jaman dinasti Tang, tangan kirinya memegang Ru-yi dan mengendarai naga hijau. Di Indonesia pemujaan kepala dewa ini sangat jarang sekali ditemui, sehingga menyulitkan penelitian tentang asal-usulnya.
Diantara penyembahan Lima Hyang atau Wu Si ini Zao Jun dan Di Ji Zhu-lah yang paling populer, karena dianggap paling akrab dengan lingkungan hidup manusia dan keluarganya.
Sumber: Buku Dewa-Dewi Kelenteng, Yayasan Kelenteng Sampookong, Gedung Batu – Semarang, 1990