Imlek, Hari Raya Agama Atau Tradisi?

Oleh : Yasa Paramita Singgih

Menjelang hari raya Imlek atau Sincia, biasanya mulai muncul dimana mana ulasan mengenai Imlek. Biasanya perdebatan terjadi tentang Imlek merupakan sebuah hari raya agama atau tradisi? Beberapa hari ini saya juga mendapat banyak artikel di Whatsapp tentang penjelasan Imlek tapi sangat disayangkan banyak yang belum memberikan penjelasan secara utuh dari berbagai sudut pandang.

Imlek sejatinya adalah perayaan ganti tahun dari musim dingin ke musim semi yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat Tiongkok sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagian orang menyebutnya tahun 2017 masehi ini kita merayakan Imlek yang ke 4715, sedangkan sebagian orang menyebutnya sebagai Imlek yang ke 2568. Kedua duanya benar dan tidak salah, yang membuatnya berbeda hanyalah sudut pandang sejarah dari angka tersebut.

Imlek ke 4715 dsebut sebagai Huang Di Era karena dihitung dari kelahiran Huang Di, angka ini banyak dipakai oleh penganut Dao. Sedangkan Imlek ke 2568 disebut sebagai Kong Zi Era karena dihitung dari kelahiran Kong Zi, angka ini banyak dipakai oleh penganut Ru. Hal ini sudah menjadi perdebatan lama, dimana saat itu Kang Youwei (1858-1927) mengusulkan agar menggunakan Kong Zi Era sedangkan Liu Shipei (1884-1919) menolaknya dan mengusulkan menggunakan Huang Di Era. Mana yang lebih baik digunakan? Tentunya bagi kita tidak ada yang salah karena keduanya merupakan tokoh besar bagi masyarakat Tionghoa. Huang Di atau yang biasa dikenal sebagai Kaisar Kuning disebut juga sebagai Bapak Bangsa Etnis Han (orang Tionghoa pada umumnya adalah orang Han), sedangkan Kong Zi sendiri adalah guru besar yang sangat dihormati karena telah meletakkan dasar pendidikan moralitas.

Kenapa Penanggalan Imlek selalu berubah?

Mari kita ingat, setiap tahunnya penanggalan Imlek ini selalu berubah. Pernah satu kali Imlek bertepatan dengan Hari Valentine 14 Februari, lalu tahun depannya terus berubah lagi.

Terdapat dua penanggalan yang ada di dunia yaitu penanggalan berdasarkan bumi mengelilingi matahari yang disebut sebagai penanggalan solar (Yanglek), penanggalan inilah yang dipakai oleh penanggalan masehi. Sedangkan penganggalan berdasarkan bulan mengelilingi bumi yang disebut sebagai penanggalan lunar (Imlek), penanggalan Hijriah menggunakan sisem penanggalan ini.

Penanggalan solar memiliki 365,25 hari dalam setahun, sedangkan penanggalan lunar memiliki 354 hari dalam setahun. Sehingga ada selisih 11,25 hari dari kedua tanggal tersebut. Inilah yang mengakibatkan hari raya Idul Fitri selalu maju 11,25 hari setiap tahunnya.

Penanggalan orang Tionghoa sendiri sebenarnya adalah gabungan antara penanggalan solar dan penanggalan lunar. Itulah yang menyebabkan Imlek tidak selalu maju seperti Hijriah, melainkan ada saatnya maju dan mundur kembali. Sebenarnya penanggalan yang dipakai oleh orang Tionghoa ini lebih ditepat disebut penanggalan lunisolar atau Imyanglek. Namun kebanyakan orang telah terbiasa menyebutnya sebagai Imlek. Adanya Lun (bulan lebih) ini yang mengakibatkan tanggal jatuh Imlek tidak pernah lepas antara 21 Januari dengan 19 Februari setiap tahunnya. Secara sederhana, Imlek selalu maju 11,25 hari selama 3 tahun, dan di tahun ke 4 akan mundur kurang lebih 30 hari. Maka tidak heran jika hari Imlek selalu berganti.

Imlek Hari Raya Agama atau Tradisi?

Imlek telah menjadi hari besar bagi seluruh masyarakat Tionghoa dimanapun berada, tidak terkecuali apapun agamanya sekarang selama ia masih mengaku dirinya Tionghoa maka ia tentu ikut merayakan Imlek. Bangsa Tionghoa dikenal sebagai bangsa yang punya akar budaya yang sangat kuat, dimanapun mereka berada sekarang biasanya tidak lupa untuk tetap merayakan tahun baru Imlek. Di luar negeri Imlek dikenal dengan Chinese New Year.

Di Indonesia sendiri saat ini seluruh masyarakat Tionghoa dengan bebas dapat merayakan Imlek, setelah puluhan tahun sempat terkekang. Semua berawal dari dicabutnya Inpres no 14 tahun 1967 oleh Gus Dur. Orang tua saya bercerita jaman dulu mereka harus merayakan Imlek di Kelenteng dengan suasana tertutup, berbeda dengan sekarang. Saat ini kita bisa melihat suasana keramaian Imlek di pusat pusat perbelanjaan, barongsai & liong pun dapat kembali menari dengan bebas. Bahkan saat ini beberapa Gereja yang umatnya banyak orang Tionghoa pun juga ikut merayakan Imlek. Maka tidak heran jika masyarakat Tionghoa menganggap Gus Dur sebagai seorang pahlawan pejuang pluralisme di Indonesia.

Sebagian orang menganggap hari besar Imlek ini hanyalah sebuah tradisi turun temurun untuk merayakan ganti tahun baru, sedangkan sebagian orang lainnya menganggap hari besar Imlek sebagai hari raya agama yang sarat akan makna ritual agama di dalamnya. Tentu tidak ada yang salah, silahkan saja menjalankannya sesuai dengan keyakinan masing masing tanpa perlu mencampuri urusan orang lain.

Biasanya masyarakat yang menganggap Imlek hanyalah tradisi saja adalah mereka yang sudah tidak memeluk ajaran leluhur orang Tionghoa atau Agama Hua. Mudahnya, mereka yang sudah tidak lagi memegang hio. Agama Hua adalah agama leluhur orang Tionghoa, di dalamnya terdapat pengaruh besar dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme (San Jiao / Sam Kauw / Tridharma). Tempat ibadah Agama Hua adalah Kelenteng. Agama Hua ini disebut juga sebagai Folk Religion alias agama rakyat. Para pemeluk Agama Hua ini sendiri di Indonesia biasanya mencantumkan agama Buddha atau Khong Hu Cu di KTPnya. Bisa dikatakan komunitas yang paling merepresentasikan Agama Hua adalah komunitas Tridharma yang sekarang ada di Indonesia.

Biasanya, bagi mereka yang menganggap Imlek hanyalah tradisi merayakan Imlek dengan seremoni saja, seperti makan malam keluarga pada saat malam Imlek, kumpul keluarga saat hari Imlek, saling mengucapkan “Gong Xi Fa Chai” lalu saling berbagi Angpau. Mereka sudah tidak lagi melakukan seluruh ritual agama dari rangkaian perayaan Imlek.

Bagi masyarakat Tionghoa yang masih memegang kepercayaan leluhur yaitu Agama Hua tentu Imlek bukanlah sebuah tradisi semata. Imlek adalah hari besar yang sarat akan unsur agama dan ritual di dalamnya.

Ritual agama perayaan Imlek ditandai dengan Sembahyang Toapekong Naik / Cao Kun Kong / Dewa Dapur yaitu tanggal 24 bulan 12 penanggalan Imlek atau Cap Ji Gwee Ji Sih. Kita melaksanakan persembahyangan kepada Dewa Dapur yang akan menghadap ke Giok Hong Siang Tee.

Sehari sebelum Imlek, para umat juga pergi ke Kelenteng untuk melaksanakan persembahyangan kepada Thian, Para Sin Beng, Dewa Dewi untuk mengucap syukur dan terima kasih atas semua yang di dapat sepanjang tahun. Begitu pula pada saat hari Imlek, kita tidak langsung mengucapkan Imlek kepada orang tua dan sanak saudara, semua dimulai dengan melakukan persembahyangan di altar rumah dan meja abu leluhur. Barulah setelah itu kita mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada keluarga.

Empat hari setelah merayakan Imlek atau Cia Gwee Ce Sih kita kembali melaksanakan Sembahyang Toapekong Turun, persembahyangan ini untuk menyambut kembali kedatangan Cao Kun Kong / Dewa Dapur untuk kembali datang ke rumah kita menjaga keluarga di tahun yang baru ini.

Setelah itu pada hari kesembilan setelah tahun baru Imlek atau Cia Gwee Ce Kauw kita juga melaksanakan persembahyangan Keng Ti Kong. Persembahyangan ini dimaksudkan untuk mengucap syukur kepada Thian Tikong serta bertekad untuk menjalani hidup lebih baik lagi di tahun yang baru.

Dan rangkaian perayaan Imlek pun ditutup dengan persembahyangan pada saat hari ke 15 setelah Imlek atau Cap Go Meh kepada Thian, Para Sin Beng, Dewa Dewi & leluhur. Sembahyang Cap Go Meh ini sekaligus menutup rangkaian ritual tahun baru Imlek bagi umat agama Hua.

Pertanyaannya, apakah rangkaian ritual persembahyangan yang disebutkan diatas bukanlah ritual agama dan hanya tradisi semata? Apakah sujud syukur kepada Thian Tikong, Para Sin Beng, Dewa Dewi bukanlah ritual agama dan hanya tradisi semata? Tentu ritual tersebut tidak dijalankan oleh masyarakat Tionghoa yang hanya menganggap Imlek hanyalah sebuah tradisi dan seremoni saja. Namun bagi masyarakat Tionghoa yang menganggap Imlek sebagai hari raya agama, tentu menjalani seluruh ritual tersebut dengan penuh khidmat.

Sikap Soja, Bukan Anjali

Salah kaprah sering terjadi diantara masyarakat Tionghoa dalam mengucapkan selamat hari raya Imlek. Banyak masyarakat yang mengucapkan Imlek dengan sikap tangan Anjali. Ini jelas salah. Begitu pula dengan mengucapkan Imlek hanya dengan jabat tangan, rasanya kurang tepat.

Sikap tangan yang tepat saat mengucapkan Imlek adalah sikap tangan soja. Dimana tangan kanan yang melambangkan Im dikepal dan tangan kiri yang melambangkan Yang membungkus tangan kanan. Soja sendiri memiliki makna yang sangat dalam, kedua ibu jari membentuk huruf ren (manusia), dengan kedua telunjuk di belakangnya membentuk huruf er (dua). Jika kedua huruf tersebut digabung akan menjadi huruf Thian (Langit). Ini menjelaskan bahwa Thian menurunkan manusia lewat orang tua. Maka ada pepatah mengatakan, “Papa Mama wakil Thian di dunia”. Sedangkan 8 jari selain ibu jari melambangkan 8 sikap kebajikan (Ba De) dari Kong Zi yaitu:

  1. Xiao – Laku Bakti
  2. Ti – Rendah Hati
  3. Zhong – Setia
  4. Xin – Dapat Dipercaya
  5. Li – Susila
  6. Yi – Bijaksana
  7. Lian – Suci Hati
  8. Chi – Tahu Malu

Saat melakukan soja kepada orang yang lebih tua, maka hendaknya sikap tangan soja diletakkan sejajar dengan diantara hidung dan mulut. Kepada yang seusia dan lebih muda sikap soja diletakkan di dada. Saat hari Imlek, disarankan anak melakukan pai qui (sujud) kepada orang tua sebagai wujud tanda bakti dan terima kasih seorang anak kepada orang tua.

Jadi, Imlek Hari Raya Agama Apa?

Apakah Imlek hari raya Agama Buddha? Bukan. Jauh sebelum Sidharta Gautama lahir, Imlek telah dirayakan oleh masyarakat Tiongkok. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak umat Buddha keturunan Tionghoa yang sebenarnya juga memeluk Agama Hua alias memegang kepercayaan leluhur. Karena sejatinya Agama Hua ini sudah mendarah daging bagi orang Tionghoa secara sadar ataupun tidak sadar. Apalagi Agama Buddha dengan tradisi Mahayana sangat berkembang di Tiongkok dan sering bersentuhan dengan ajaran Ru & Dao. Ajaran Buddha sendiri tidak melarang penganutnya untuk tidak melakukan rangkaian persembahyangan Imlek. Ditambah lagi Cia Gwee Ce It juga bertepatan dengan hari lahirnya Buddha Maitriya. Maka tidak heran juga apabila banyak Wihara yang ikut merayakan Imlek.

Imlek menjadi hari raya besar bagi umat Ru (penganut ajaran Kong Zi) di Indonesia. Walaupun jauh sebelum Kong Zi lahir Imlek sudah dirayakan. Bagi umat Ru Imlek merupakan perayaan besar yang mengandung makna ritual & agama. Apalagi sosok Kong Zi sendiri punya pengaruh besar dalam penanggalam Imlek 2568 yang tentu saja umat Ru mengambil penanggalan Imlek berdasarkan Kong Zi Era.

Imlek juga menjadi hari raya besar bagi umat Tao di Indonesia. Walaupun Agama Tao belum diresmikan di Indonesia, namun secara kenyataan di lapangan umat Tao ini eksis. Mereka tentu menjadikan Imlek sebagai hari raya agama, dikarenakan mereka menganggap sosok Huang Di sebagai pembuka ajaran Agama Tao. Maka umat Tao menyebut Huang Di Era ini sebagai Daoli atau kalender Tao.

Namun yang pasti, Imlek menjadi hari raya agama bagi masyarakat Tionghoa yang memeluk Agama Hua atau lebih mudahnya, umat Tridharma dan siapapun yang masih menjalankan ritual agama dalam rangkaian Imlek.

Imlek adalah milik semua masyarakat Tionghoa, tanpa terkecuali. Namun masing masing masyarakat punya keyakinan sendiri dalam merayakan Hari Raya Imlek. Tentu tidak ada yang salah, tapi yang terpenting adalah saling menghargai pendapat yang berbeda dan tidak saling mengklaim bahwa Imlek adalah tradisi saja ataupun Imlek adalah hari raya agama saja. Biarkanlah Imlek menjadi hari pemersatu masyarakat Tionghoa. Seperti yang dikatakan oleh Kong Zi, “Di empat penjuru samudera kita semua saudara”

Selamat Hari Raya Imlek!
Semoga keberuntungan, kesehatan, kesejahteraan & keberkahan ada pada kita semua.

Sumber:
Artikel – artikel Ardian Zhang
Artikel – artikel Dedy Hidayat
Artikel – artikel Marga Singgih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *