Festival Perayaan Duan Wu (Bak Cang)

Oleh : Tionghoa.info

Festival Duan Wu Jie (端午節) atau biasa disebut Festival Twan Yang (Peh Cun, Bak Cang) jatuh setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek. Twan Yang memiliki arti, yakni ‘Twan’ yang artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber; dan ‘Yang’ artinya sifat positif atau matahari, jadi Twan Yang ialah saat matahari memancarkan Cahaya paling keras. Hari Raya ini dinamai pula Duan Wu. “Wu” artinya saat antara jam 11.00 s/d 13.00 siang, jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari.

Orang-orang percaya bahwa rebusan obat-obatan yang dipetik pada saat itu akan besar khasiatnya. Karena letak matahari tegak lurus, orang percaya telur ayam pun bila ditegakkan saat itu akan dapat berdiri tegak lurus. Hari raya ini disebut pula dengan nama Peh Cun yang artinya merengkuh Dayung atau Beratus Perahu.

Dinamai demikian karena pada hari itu sering diadakan perlombaan dengan banyak perahu. Tentang perlombaan dengan perahu di sungai-sungai itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Duan Wu pada jaman Sam Kok. di negeri Chu yang kisahnya sebagai berikut :

Sejarah Bakcang

Dinasti Chu pada jaman Sam Kok atau jaman Peperangan (403 SM – 231 SM) sudah tidak berarti lagi sebagai negara pusat. Pada jaman itu ada tujuh negara besar, ketujuh negeri itu ialah Negeri Qi, Chu, Yan, Han, Zhao, Wei dan Qin. Negeri Qin ialah negeri yang paling kuat dan agresif, maka enam negeri yang lain itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi negeri Qin.

Qu Yuan (Khut Guan) ialah seorang menteri besar dan setia dari negeri Chu, beliau seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan keenam negeri itu untuk menghadapi negeri Qin. Karena itu orang-orang negeri Qin terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Qu Yuan, terutama berhadapan raja negeri Chu, Cho Hwai Ong.

Di negeri Chu ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio Gi, seorang menteri negeri Qin yang cerdik dan licin berhasil meretakkan hubungan Qu Yuan dengan raja negeri Chu.

Qu Yuan dipecat dan hancurlah persatuan ke enam negeri itu. Cho Hwai Ong bahkan terbujuk oleh janji-janji yang menyenangkan, agar mau datang ke negeri Qin. Di sana ia malah ditawan dan menyesali perbuatannya sampai mangkatnya.

Raja negeri Chu yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan kepada Qu Yuan. Ke enam negeri dapat dipersatukan kembali sekalipun tidak sekokoh dahulu. Pada tahun 293 SM negeri Han dan Wei yang diserang negeri Qin dihancurkan dan dibinasakan.

Oleh peristiwa ini Qu Yuan kembali difitnah. Qu Yuan dikatakan akan membawa negeri Chu kembali mengalami nasib yang sama seperti negeri Han dan negeri Wei. Raja Cho Cing Siang Ong ternyata lebih buruk kebijaksanaannya daripada raja sebelumnya. Ia tidak saja memecat Qu Yuan, bahkan menjatuhi hukuman agar Qu Yuan dibuang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Mi Luo.

Ditempat pembuangan ini Qu Yuan hampir-hampir tidak tahan. Hanya bekat kebijaksanaan kakak perempuannya, beliau dapat ditenangkan agar rela menerima keadaannya itu. Meski demikian beliau kadang kala tidak selalu dapat menerimanya.

Maklum walau bagaimana pun beliau adalah seorang bangsawan negeri Chu, sehingga tidak dapat melupakan tanggung jawab kepada negara dan leluhurnya, karena itu Qu Yuan sering merasa kesepian dan timbul kejemuan akan suasana kehidupannya.

Dalam saat demikian itu, beliau berkenalan seorang nelayan, yang ternyata seseorang yang pandai. Orang itu menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya sebagai seorang  nelayan saja. Dengannya Qu Yuan akhirnya mendapatkan kawan. Mereka sering bercakap-cakap meski pandangan hidupnya kadang tak sejalan.

Bapak nelayan itu berprinsip agar lebih baik meninggalkan kehidupan bermasyarakat apabila keadaannya buruk; sedangkan Qu Yuan biar pun tidak mau tercemar oleh keserakahan dan kekotoran dunia tetapi tetap berharap dapat mengembangkan kembali jalan kebenaran bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.

Demikianlah Qu Yuan sangat akrab dengan nelayan itu. Ketenangan Qu Yuan kala itu dihancurkan oleh berita mengenai hancurnya ibu kota negeri Chu, tempat asal leluhurnya itu yang diserbu orang negeri Qin.

Hal ini menjadikan Qu Yuan yang telah lanjut usia itu merasa tidak berarti bagi hidup pribadinya. Setelah dirundung kebimbangan dan kesedihan, beliau memutuskan menjadikan dirinya yang telah tua itu biarlah menjadi tugu peringatan bagi rakyatnya akan peristiwa yang sangat menyedihkan atas tanah air dan negerinya itu, semoga bangkit semangat rakyatnya menegakkan kebenaran dan mencuci bersih aib yang menimpa negerinya.

Ketika itu kebetulan ialah saat hari suci Duan Wu, beliau mendayung perahunya ke tengah-tengah sungai Mi Luo, lalu dinyanyikan nya sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitarnya, yang mencurahkan rasa cinta tanah air dn rakyatnya.

Rakyat banyak tertegun mendengar semuanya itu. Pada saat itu beliau sampai ke tempat yang jauh dari kerumunan orang, beliau melompat ke dalam sungai yang deras alirannya dan dalam itu pada tanggal 5 bulan 5 (penanggalan Imlek).

Beberapa orang yang mengetahuinya segera berusaha menolongnya, tetapi hasilnya nihil, jenazahnya pun tidak diketemukan. Seharian kawan Qu Yuan yang seorang nelayan itu, dengan menggunakan perahu-perahu kecil mengerahkan kawan-kawannya mencari, tapi hasilnya sia-sia belaka.

Rakyat yang kemudian merasa sedih kemudian mencari-cari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka lalu melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu jenazah sang menteri.

Kemudian untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam sungai tersebut maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita kenal sebagai bakcang sekarang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan perahu naga setiap tahunnya.

Ini juga yang melatarbelakangi sebagian kelenteng di Indonesia masih mengadakan “ritual” membuang/mengarung Bakcang ke laut setiap sembahyang tanggal 05 bulan 05 Imlek.

Pada tahun-tahun berikutnya, kebiasaan mempersembahkan beras di dalam tempurung bambu itu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus daun bambu, yang disini kita kenal dengan nama Bak Cang atau Kue Cang.

Diadakan perlombaan-perlombaan perahu yang dihiasi gambar-gambar naga, semuanya mengingatkan usaha mencari jenazah Qu Yuan, seorang pecinta tanah air dan rakyatnya. Demikianlah tiap hari raya Duan Wu selalu diadakan pula peringatan untuk Qu Yuan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur dari negeri Chu itu.

Tradisi Menegakkan Telur Ayam

Pada hari perayaan Duan Wu sendiri ada hal yang menarik, dimana kita bisa meletakkan/menegakkan telur ayam mentah dalam posisi berdiri diatas lantai atau meja. Ini bisa dilakukan disepanjang hari Duan Wu. Bagi yang ingin mencobanya lebih baik cari tempat yang rata dulu, dan cari posisi telur yang lonjong besar di bawah untuk memudahkan.

Fenomena ini terjadi karena saat matahari memancarkan cahaya paling kuat, gaya gravitasi di tanggal ini adalah yang terlemah, sehingga menyebabkan telur ayam mentah bisa berdiri, saat ini matahari berada di “posisi istimewa”, yaitu tepat di atas khatulistiwa.

Konon menurut para ahli, pada tanggal tersebut posisi bulan tepat berada pada satu garis lurus dengan bumi sehingga gaya gravitasi bulan pada tengah hari akan tepat berada dibawah bumi sehingga kuning-kuning telur akan tertarik sedikit lebih rendah dibanding pada hari-hari biasa, hal ini yang membuat titik berat telur lebih ke bawah dan membantu sang telur berdiri pada ujung lancipnya.

Dan karena penanggalan imlek mengandalkan peredaran bulan, maka momen tersebut akan selalu jatuh tepat tengah hari tanggal 5 bulan 5 imlek, sehingga tradisi “mendirikan telur” juga merupakan bagian dari festival budaya ini, selain tentunya menyantap Bakcang.

Sumber : http://www.tionghoa.info/festival-perayaan-duan-wu-bak-cang/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *